Pertama, bagaimana membangun gedung yang ramah lingkungan, termasuk di sini penerapan desain dan operasional yang ramah lingkungan, pengurangan limbah dan konsumsi energi, penggunaan energi terbarukan, promosi daur ulang dan sumber daya digital, serta edukasi kepada staf dan pengguna tentang praktik berkelanjutan.
Berkaitan dengan hal itu, sebenarnya Universitas Airlangga telah melakukan praktik pengolahan limbah. Di berbagai gedung baru telah dibedakan penggunaan air untuk cuci tangan yang berasal dari sumber air PDAM dan air limbah yang telah diolah untuk flash closet atau menyiram kotoran.
Demikian juga yang telah dilakukan di perpustakaan SMP-SMA Al Hikmah IIBS Batu, telah diimplementasikan praktik pengurangan penggunaan plastik yang digantikan dengan penggunaan tumbler dan penyediaan air isi ulang.
Kedua, berkaitan dengan kepedulian para pustakawan dan perpustakaan terhadap upaya pelestarian lingkungan. Tujuan utama dari kebijakan dan program yang dikembangkan adalah meminimalkan dampak lingkungan yang disebabkan aktivitas perpustakaan.
Tidak hanya dalam soal pembangunan prasarana fisik, membangun perpustakaan hijau juga harus dilandasi kepedulian dan kesadaran para pustakawan untuk ikut melestarikan lingkungan.
Perpustakaan hijau dan berkelanjutan adalah perpustakaan yang mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan, ekonomi, dan sosial.
Perpustakaan hijau dan berkelanjutan dapat berukuran apa pun, tetapi harus memiliki agenda keberlanjutan yang jelas terhadap upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan.
Ketiga, pustakawan bukan sekadar ”penjaga buku”. Lebih dari itu, pustakawan memiliki peran strategis untuk mewujudkan lingkungan belajar berkelanjutan. Misalnya, dengan memilih dan memproposikan koleksi yang sifatnya mengajak siswa berpikir kritis tentang alam dan keberlanjutan serta mengadakan green reading day.
Menurut Rizka, ada empat alasan mengapa green library penting di perpustakaan. Yakni, mewujudkan generasi peduli lingkungan; efisiensi biaya operasional; mendukung SDG’s, terutama SDG 4 (pendidikan berkualitas), dan 13 (mengambil tindakan segera untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya); serta menciptakan lingkungan belajar yang sehat dan nyaman.
Seperti yang telah dikemukakan Rahma, perlu kita sadari bersama, perpustakaan adalah entitas yang tidak berada dalam ruang hampa, tetapi perpustakaan adalah entitas yang berada dalam lingkungan yang terus-menerus berubah.
Jika kita sebelumnya menyikapi dan merespons masifnya inovasi teknologi dengan memperluas pemanfaatan perpustakaan digital, saat ini ketika dihadapkan pada persoalan pelestarian bumi. Maka, sudah saatnya perpustakaan menyikapi dan meresponsnya dengan baik.
Di era sekarang ini, barangkali sudah saatnya perpustakaan meminimalkan pengadaan koleksi cetak dan memperbanyak koleksi digital untuk mengurangi penggunaan sumber daya yang tidak dapat diperbarui sehingga para pustakawan ikut melestarikan lingkungan.
MENUJU PERPUSTAKAAN HIJAU: APA YANG HARUS DILAKUKAN?
Membangun green library harus diakui bukan hal yang mudah. Meski kesadaran akan isu pelestarian lingkungan telah cukup berkembang dan bumi tempat kita berpijak ini dapat menjadi tempat hidup yang layak dan memadai bagi generasi mendatang.
Namun, dalam implementasinya, membangun green library masih sering menghadapi berbagai kendala dan dibutuhkan perencanaan yang matang.
Menurut Prof Koko Srimulyo, untuk dapat mengimplementasikan green library, dibutuhkan upaya mengidentifikasi diri.