Urgensi Revisi UU Perbukuan Nasional (1): Krisis Literasi, Krisis Regulasi...

Urgensi Revisi UU Perbukuan Nasional (1): Krisis Literasi, Krisis Regulasi...

Ruang baca Perpustakaan Provinsi Jawa Timur diramaikan oleh para pelajar dan mahasiswa pada Sabtu, 6 desember 2025.-Tirtha Nirwana Sidik for Harian Disway-

Indonesia masih berada dalam kondisi darurat literasi. Minat baca rendah. Akses buku timpang. Budaya lisan kian dominan di era digital. Lebih parah lagi, ekosistem perbukuan nasional justru berjalan dengan regulasi yang kedaluwarsa dan bias. Sehingga gagal merespons tantangan zaman. Semua ini menegaskan urgensi revisi UU Perbukuan agar Indonesia tidak makin tertinggal.

—--

Sebetulnya, alarm keras sudah berbunyi sejak survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menempatkan Indonesia di peringkat 70 dari 80 negara. Kemampuan membaca siswa usia 15 tahun menunjukkan stagnasi yang mengkhawatirkan.

Meski Indeks Pertumbuhan Literasi Masyarakat mencatat kenaikan skor dalam dua tahun terakhir, namun belum cukup untuk menggeser Indonesia dari status negara dengan kemampuan baca rendah. Apalagi jauh di bawah Singapura dan negara-negara yang berhasil membangun budaya membaca kuat.

Komisi XIII DPR RI pun akhirnya mengajukan revisi UU Perbukuan dari UU No. 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Sebab, UU yang lama itu mengandung dua bias besar yang membuatnya tidak kompatibel dengan tantangan perbukuan masa kini.


Infografis tingkat literasi masyarakat Indonesia.-Arya Firman-Harian Disway-

Pertama, bias terhadap buku pelajaran sekolah. Dari seluruh pasal di dalamnya, 15 pasal mengatur buku pendidikan dan hanya satu pasal menyinggung buku umum. Akhirnya, pemerintah pun abai terhadap buku-buku “umum” tersebut.

Bias kedua adalah bias hulu. UU Sistem Perbukuan menempatkan beban besar di pundak pelaku perbukuan. Seperti penulis, editor, ilustrator, percetakan, penerbit, distributor. Namun, ekosistem hilir seperti masyarakat pembaca tidak diperhatikan.

Ya, UU No. 3 Tahun 2017 tidak memasukkan pembaca sebagai bagian dari ekosistem. Tidak pula menempatkan pemerintah sebagai unsur yang berkewajiban membangun pasar pembaca. Akibatnya, pengaturan perbukuan Indonesia hanya kuat di hulu.

Menurut Ketua Komisi XII DPR RI WIlly Aditya, kondisi itu membuat ekosistem perbukuan mengalami tekanan berlapis. Aktivitas penerbitan menurun, toko buku berguguran, distribusi makin mahal, dan minat generasi muda untuk menjadi penulis merosot drastis.

“Seluruh elemen ekosistem buku sedang mengalami tekanan sistemik, dan penurunan aktivitas perbukuan harus dibaca sebagai sinyal krisis, bukan sekadar dinamika pasar,” kata politikus Partai NasDem itu dalam keterangan resminya, 15 November 2025.

Pada titik inilah, kata Willy, UU Perbukuan sangat mendesak untuk direvisi. Indonesia tidak akan pernah keluar dari krisis literasi jika undang-undang yang menjadi fondasinya masih memandang buku sebagai urusan hulu. Tidak sebagai ekosistem lengkap yang berakhir pada pembaca.

Hal itu sejalan dengan yang disampaikan Prof Dessy Harisanty. Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia bukan disebabkan ketidakmampuan membaca. Melainkan karena kurangnya budaya membaca, terutama di lingkungan keluarga.

Menurut dia, sebagian besar masyarakat Indonesia sebenarnya sudah melek literasi. Tetapi kemauan membaca masih rendah karena budaya lisan jauh lebih dominan.

“Budaya kita ini budaya dengar, bukan budaya membaca,” ujar pakar perilaku informasi masyarakat di era prosumer dari Universitas Airlangga itu saat ditemui di kantornya pada Jumat, 28 November 2025.

Pembiasaan membaca idealnya dimulai sejak anak dalam kandungan, misalnya dengan rutin membacakan buku. Cara sederhana itu dapat membantu merangsang perkembangan otak anak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: