Janji yang Tertunda: Potret Koperasi Indonesia

Senin 22-09-2025,23:37 WIB
Oleh: Bagus Suminar*

Indonesia sebenarnya pernah memiliki instrumen sertifikat modal koperasi (SMK) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012, berfungsi sebagai bukti penyertaan modal dari anggota untuk memperkuat keuangan koperasi tanpa mengubah prinsip demokratis one member one vote

Namun, sejak undang-undang tersebut dibatalkan Mahkamah Konstitusi, keberadaan SMK tidak lagi berlaku secara legal sehingga koperasi kembali bergantung pada pola simpan pinjam konvensional. 

Bandingkan dengan Jerman yang punya Volksbanken dan Raiffeisenbanken –bank koperasi yang tumbuh besar dengan dukungan masyarakat luas– atau Fonterra di Selandia Baru yang berhasil menguasai pasar dunia berkat modal kuat dan tata kelola solid. 

Di Indonesia kita seakan masih sibuk mengejar kuantitas pendirian koperasi baru, padahal yang lebih menentukan justru kualitas kepemimpinan dan manajemen.

Harapan dan bukti nyata tentu masih ada. Kospin Jasa di Pekalongan, misalnya, mencatat Rp6,7 triliun aset, 206 ribu anggota, dan 130 kantor pelayanan, menjadikannya salah satu koperasi terbesar di tanah air. Bahkan, ada sumber yang menyebut total asetnya bisa lebih dari Rp8 triliun jika menghitung unit syariah. 

Ada pula Koperasi Pondok Pesantren Sidogiri yang berhasil membangun jaringan minimarket bersaing dengan waralaba modern sambil menjaga nilai-nilai pesantren. 

Di era digital, mulai muncul koperasi platform misalnya, koperasi ojek daring– yang mencoba melawan dominasi aplikasi besar dengan model kepemilikan bersama. Kisah-kisah itu menunjukkan koperasi bisa tumbuh jika ada kepemimpinan yang berani dan anggota yang benar-benar terlibat.

Pada akhirnya, kita tidak sedang bicara soal definisi atau simbol, apalagi memperdebatkan siapa yang pantas menyandang gelar Bapak Koperasi. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk jujur: koperasi tidak akan maju hanya dengan menambah jumlah atau meresmikan program baru. 

Ia maju hanya jika ”mutu” diperbaiki. Mutu layanan, mutu kepemimpinan, mutu partisipasi. Tanpa itu, koperasi hanya akan jadi catatan administratif di kementerian, bukan kekuatan nyata di pasar. 

Sejarah sudah lama memberi kita pelajaran bahwa gotong royong adalah tenaga utama bangsa ini. Koperasi seharusnya menjadi ruang tempat gotong royong itu menemukan bentuk modernnya: transparan, profesional, dan berorientasi hasil.

Menjelang penutup, ada pijakan nilai yang patut dijadikan renungan bersama. Al-Qur’an surah Al-Maidah (5) ayat 2 mengingatkan: ”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” 

Ayat itu bukan sekadar nasihat moral, melainkan juga kompas etika yang relevan untuk koperasi: bekerja sama dengan jujur, menjaga amanah, dan menghindari praktik yang merusak kepercayaan. 

Di sinilah letak hikmah terbesar. Yakni, kekuatan koperasi sejatinya bukan hanya pada modal atau regulasi, melainkan pada kemauan dan motivasi anggotanya untuk saling menopang dalam kebaikan.

Kita sudah terlalu lama membiarkan koperasi berdiri sebagai janji yang tertunda. Kini saatnya janji itu ditebus. Bisakah? Ayo, kita bangun komitmen. Tanpa komitmen dan solidaritas, tentu akan berat. 

Sebab, solidaritas yang tulus mampu mengubah janji menjadi bukti dan kerja sama yang ikhlas bisa menjadikan harapan sebagai kenyataan. 

Dan, bila hari itu tiba, koperasi bukan lagi sekadar warisan gagasan Bung Hatta, melainkan bukti nyata bahwa mimpi tentang ekonomi yang adil dan bermartabat benar-benar bisa diwujudkan di negeri ini. Stay relevant! (*)

Kategori :