Adanya pembentukan tim internal polisi tepat sehari setelah penunjukan Dofiri menimbulkan interpretasi ganda. Di satu sisi, itu dilihat sebagai langkah proaktif Polri ”sudah ingin berbenah sendiri” dan terbuka terhadap masukan dari luar.
Namun, itu juga bisa berarti pembentukan tim internal sebagai upaya defensif kelompok Listyo untuk mempertahankan struktur Polri sekarang.
Itu upaya para pimpinan Polri di bawah Jenderal Listyo Sigit untuk mencegah agar reformasi dari presiden nanti tidak ”mengganggu” struktur hierarki para petinggi Polri yang sudah cukup lama disiapkan dan dibina Listyo Sigit.
BACA JUGA:Prabowo Sampaikan Komitmen Indonesia Terhadap Solusi Dua Negara pada Sekjen PBB
BACA JUGA:Di Sidang PBB, Prabowo Serukan Perdamaian: Gaza Harus Bebas dari Bencana Kemanusiaan
Itu juga menguji hubungan antara Presiden Prabowo dan Kapolri Listyo Sigit yang tampak kooperatif dengan menyatakan siap ikut kebijakan presiden, tetapi di sisi lain ia membentuk tim internal yang cukup besar yang bisa dimaknai sebagai upaya perlindungan posisi kapolri dan struktur polisi dari kemungkinan rekomendasi radikal dari tim bentukan presiden.
Sebab, jika ada rekomendasi perubahan struktural yang radikal, seperti yang diminta Gerakan Nurani Bangsa, tentu berpotensi memicu gesekan dalam Polri yang sudah terbangun kuat.
Tim internal bisa bermakna ”pembelaan” pada Polri sekarang, di tengah tuntutan reformasi yang kian kencang dari mana-mana.
BACA JUGA:Prabowo: Indonesia Siap Kirim Pasukan Perdamaian ke Palestina
BACA JUGA:Prabowo di Sidang MU PBB: Kalau Israel Akui Palestina, Indonesia Akan Akui Israel
Reformasi institusi polisi datang pasca-Pemilu 2024 yang menyisakan kesan kuatnya peran polisi dalam politik. Juga, datang dari stigma polisi yg represif dalam penanganan demo dan aktivitas kebebasan berpendapat.
Presiden Prabowo akan dinilai sukses jika berhasil melakukan reformasi hingga mengembalikan kepercayaan kepada institusi polisi. Namun, jika presiden tidak mampu berbuat banyak dan kapolri tetap Jenderal Listyo atau sosok yang disiapkannya, pemerintahan Prabowo akan dianggap ”tidak solid” dan tidak tegas alias lebih banyak omon-omon.
Artinya, perkembangan dari peristiwa itu penting sebagai tanda soliditas kekuasaan presiden dan relasinya dengan institusi Polisi. Prabowo ingin mereformasi polisi lewat kebijakannya agar memperkuat dukungan dan legitimasinya sebagai presiden hingga 2029.
Namun, keinginan politik itu tampaknya ada yang tidak suka. Di situlah kemudian Listyo Sigit dan kekuatan di belakangnya memunculkan peran bottom-up seolah tidak kalah tanggap.
Makna politik terbesarnya adalah pengujian apakah Polri bisa direformasi tanpa konflik internal atau justru jadi arena perebutan pengaruh antara kekuatan kelompok Listyo Sigit Prabowo dan Jokowi di satu sisi, ”menghadapi” Presiden Prabowo bersama kekuatan yang menginginkan reformasi kepolisian secara menyeluruh di sisi yang lain.
Oke, kita pantau apa yang akan dilakukan presiden dan perkembangan kedua tim dalam dua hingga tiga pekan ke depan. Adakah sinergi di antaranya? Atau, mereka malah jalan sendiri-sendiri karena memiliki tujuan dan inisiator yang berbeda. (*)