”Di Ngopi Tani, Mbah Wage cerita tentang hama baru yang muncul. Mas Budi dari universitas langsung riset. Pak RT yang punya toko pertanian siapin pestisida organik. Anak muda bikin alert di grup WA. Dalam seminggu, masalah teratasi,” cerita peserta Ngopi Tani.
Ekosistem itu juga melahirkan inovasi-inovasi lokal. ”Traktor Mbah Sugeng” misalnya –traktor tua yang dimodifikasi dengan GPS tracker sehingga bisa dipantau dan dijadwalkan pemakaiannya via aplikasi. Atau, ”Lumbung Digital Desa” –sistem pencatatan stok gabah desa berbasis blockchain sederhana untuk mencegah permainan harga tengkulak.
Yang paling penting, ekosistem itu mengubah persepsi tentang pertanian. Anak muda tidak lagi melihat sawah sebagai simbol kemiskinan, tetapi sebagai land of opportunity. Data menunjukkan tren positif: dari yang tadinya hanya 20 persen lulusan pertanian berniat jadi petani (2019), naik jadi 45 persen (2024).
”Pertanian sekarang keren. Bisa pakai drone, bisa jualan online, income juga lumayan,” kata mahasiswa pertanian semester akhir.
Melihat keberhasilan inisiatif lokal itu, pemerintah mengubah strateginya. Program digitalisasi pertanian yang tadinya top-down dengan target ambisius (1 juta hektare smart farming, 100 agriculture war room), kini lebih fokus pada penguatan ekosistem lokal.
Anggaran Rp2 triliun untuk digitalisasi pertanian dialokasikan ulang: 60 persen untuk capacity building dan mentorship, 40 persen untuk infrastruktur teknologi.
”Kami sadar, teknologi tanpa SDM yang siap itu mubazir. Makanya, fokus kami sekarang adalah membangun SDM melalui mentorship,” jelas pejabat Kementerian Pertanian.
Program-program baru pun diluncurkan: ”Sekolah Lapang Petani Digital” yang menggabungkan kearifan lokal dengan teknologi, ”Inkubator Agritech Desa” untuk mendorong inovasi lokal, dan ”Dana Abadi Mentorship Pertanian” untuk keberlanjutan program.
Pendekatan kerja sama dengan swasta juga diubah. Bukannya memaksakan teknologi canggih, perusahaan teknologi diminta mengembangkan solusi yang sesuai konteks lokal.
Hasilnya? Muncul aplikasi-aplikasi sederhana tapi powerful: ”TaniKu” untuk pencatatan hasil panen, ”PasarTani” untuk direct selling, ”CuacaTani” yang menggabungkan data BMKG dengan kearifan lokal.
Strategi bottom-up itu terbukti lebih efektif. Di daerah dengan program mentorship kuat, adopsi teknologi meningkat tiga kali lipat daripada daerah yang hanya mendapat bantuan teknologi tanpa pendampingan.
”Ternyata, human factor lebih penting daripada tech factor,” simpul evaluasi program.
TANTANGAN DAN PELUANG KE DEPAN
Tentu saja, perjalanan masih panjang. Dari 27,37 juta rumah tangga petani, baru sekitar 5 persen yang benar-benar terintegrasi dengan teknologi. Infrastruktur internet yang baru menjangkau 60 persen area pertanian masih jadi kendala.
Rata-rata pendidikan petani yang masih SD-SMP membuat transfer pengetahuan tidak selalu mudah. Namun, ada optimisme. Pandemi Covid-19, dengan segala dampak negatifnya, justru mempercepat digitalisasi pertanian.
Pembatasan mobilitas memaksa petani menggunakan teknologi untuk bertahan. ”Dulu jualan harus ke pasar, sekarang pembeli yang datang via online,” kata petani sayur di Lembang.