Dari Sawah ke Startup: Transformasi Petani Milenial Indonesia Melalui Kolaborasi Lintas Generasi

Minggu 28-09-2025,22:17 WIB
Oleh: Yudi Fathoni Wijaya*

Rahasianya? Kombinasi pengalaman dan inovasi. Cara kerjanya sederhana tetapi efektif. Setiap petani muda dipasangkan dengan satu atau dua petani senior. Mereka bekerja di lahan yang sama, dengan pembagian peran yang jelas. 

Petani senior mengajarkan teknik bertani dasar, membaca tanda alam, dan manajemen lahan tradisional. Petani muda memperkenalkan teknologi sederhana: cara menggunakan smartphone untuk cek harga, membuat catatan digital hasil panen, atau memasarkan produk online.

”Awalnya petani senior ngajarin saya cara milih bibit unggul dari bentuk dan warna biji. Saya catat semua ciri-cirinya, bikin database, terus bikin aplikasi sederhana untuk identifikasi bibit. Sekarang petani lain tinggal foto bibitnya, langsung ketahuan bagus atau tidak,” cerita seorang petani muda di Banyuwangi. 

Yang menarik, transfer pengetahuan itu tidak satu arah. Petani senior yang tadinya gaptek (gagap teknologi) perlahan mulai familier dengan teknologi. Bukan untuk jadi ahli, melainkan cukup untuk memahami manfaatnya. 

”Dulu saya kira HP cuma buat telepon. Sekarang saya tahu bisa untuk lihat harga gabah di kota lain. Jadi, tidak dibohongi tengkulak lagi,” kata seorang petani senior dengan bangga.

TEKNOLOGI TEPAT GUNA, BUKAN TEPAT PAMER

Keberhasilan program mentorship itu mengubah pendekatan adopsi teknologi pertanian. Alih-alih memaksakan teknologi canggih yang mahal dan rumit, fokusnya beralih ke teknologi tepat guna yang sesuai konteks lokal. 

Grup WhatsApp untuk early warning system hama, Google Sheets untuk pencatatan hasil panen, Facebook untuk direct marketing –sederhana tapi efektif. 

Di Garut, kelompok tani ”Muda Berkarya” bahkan mengembangkan sistem IoT sederhana dengan biaya murah. Menggunakan Arduino (mikrokontroler open source) seharga Rp200 ribu dan sensor kelembapan Rp50 ribu, mereka membuat alat monitoring sawah yang terhubung ke HP. 

”Tidak perlu drone jutaan rupiah. Cukup sensor murah yang bisa kasih tahu kapan harus nyiram,” jelas koordinator kelompok.

Inovasi sederhana itu menyebar dari desa ke desa melalui jaringan mentorship. Petani senior yang sudah merasakan manfaatnya dengan sukarela menjadi ”duta” untuk petani senior lainnya. 

Sementara itu, petani muda saling berbagi kode program dan tutorial via GitHub atau YouTube. Terjadi demokratisasi teknologi yang organik, bukan top-down dari pemerintah. Pemerintah sendiri melihat potensi model itu. 

Program ”Petani Milenial” yang menargetkan satu juta petani muda terlatih hingga 2025 kini memasukkan komponen mentorship sebagai syarat wajib. Setiap peserta program harus bermitra dengan minimal satu petani senior. 

”Kami tidak mau menciptakan petani muda yang pintar teknologi, tapi tidak membumi,” jelas pejabat Kementerian Pertanian.

Keberhasilan mentorship lintas generasi mendorong terciptanya ekosistem pertanian yang lebih holistik. Di Temanggung, muncul ”Kampung Smart Farming”. Yakni, petani senior, petani muda, penyuluh pertanian, akademisi, dan pengusaha lokal berkolaborasi. 

Setiap Sabtu pagi mereka berkumpul di balai desa untuk ”Ngopi Tani” –diskusi santai sambil ngopi tentang pertanian. 

Kategori :