Dari Fiksi ke Jalanan: Bendera One Piece dan Sastra Perlawanan Global

Senin 06-10-2025,23:14 WIB
Oleh: Jiphie Gilia Indriyani*

SEKITAR sebulan lalu, pada pertengahan Agustus 2025, tampak beberapa truk yang melintasi jembatan Suramadu mengibarkan bendera Jolly Roger One Piece tanpa tiang. Bendera sengaja disisipkan di badan truk. 

Kabarnya, itu sebuah sikap merespons over dimension over load (ODOL). Di sini saya selaku manusia jalanan mulai ngeh dengan munculnya fenomena itu. 

Truk, yang selama ini memuat pesan-pesan menggelitik di bagian pintu belakang badan truk, kini memiliki style baru. Truk tidak meninggalkan fungsinya sebagai pengangkut logistik, tetapi ia nyambi juga sebagai kanvas bergerak. 

BACA JUGA:Jangan Takut pada One Piece: Rayakan Kreativitas dalam Semangat Kemerdekaan

BACA JUGA:One Piece

Mulai kaca depan sampai pintu belakang hingga seluruh dinding boks bisa menjadi lokasi penyampaian pesan. Jalan raya pun jadi semacam panggung keliling, tempat pesan-pesan ikut melaju menembus desa, kota, hingga perbatasan.

Kita mungkin pernah melihat tulisan bertema romansa yang gagal move on semacam ”Ku Tunggu jandamu”, sindiran politik ”Penak Zamanku to?”, hingga pesan religius ”Sesibuk apapun jangan tinggalkan sholatmu”. 

Kali ini bukan tulisan, melainkan bendera. Bahkan, bendera yang dipilih adalah bendera dari sebuah anime. 

Bendera yang kita kenal dengan mudah sebagai benderanya One Piece, bikin orang berhenti, memotret, lalu membicarakannya di media sosial sebagai bendera hitam bergambar tengkorak dengan topi jerami.

Awalnya saya mengira itu sekadar kelakar penggemar anime. Namun, makin lama, bendera itu berkibar di banyak truk di Indonesia, makin ramai di media sosial karena diiringi sebuah pesan permohonan maaf bahwa di momen peringatan kemerdekaan 

Indonesia kali ini tidak mengibarkan bendera Merah Putih, tetapi mengibarkan bendera One Piece seakan jadi tanda resmi perlawanan. ”Maaf, Jenderal. Agustus tahun ini tidak ada bendera merah putih berkibar di truk kami.” 

Fenomena serupa terjadi jauh di Nepal, ribuan anak muda yang menolak sensor media sosial justru menjadikan bendera topi jerami sebagai panji di tengah gas air mata. Bahkan, di Prancis, dalam protes menolak pemotongan anggaran, simbol yang sama muncul di antara bendera serikat pekerja. 

Lalu, bagaimana mungkin bendera fiksi dari manga Jepang bisa bertransformasi jadi bahasa politik global? Di dalam jagat One Piece, bendera topi jerami berarti persaudaraan, kebebasan, dan tekad melawan tirani. 

Namun, begitu ia dipindahkan ke jalanan, maknanya melebar: ia jadi metafora universal untuk melawan ketidakadilan. Jalan raya pun berubah jadi halaman baru, tempat simbol fiksi berinteraksi dengan realitas sosial.

Fenomena itu bisa dipahami lewat teori intertekstualitas Julia Kristeva. Menurut Kristeva, setiap teks selalu berhubungan dengan teks lain. Tidak ada makna yang berdiri sendiri. 

Kategori :