Dari Fiksi ke Jalanan: Bendera One Piece dan Sastra Perlawanan Global

Senin 06-10-2025,23:14 WIB
Oleh: Jiphie Gilia Indriyani*

Ia berubah jadi karya naratif kolektif. Ada antagonis dan protagonis, ada konflik moral, ada penonton global di media sosial. Bendera topi jerami menjembatani fiksi dan realitas sehingga perlawanan tak hanya terasa, tapi juga terlihat, difoto, diingat. 

Intertekstualitas menjelaskan kenapa hal ini mungkin. Simbol itu hidup karena ia terus dipinjam, disalin, ditafsir ulang. Tidak ada makna final, hanya pertukaran makna yang terus bergerak.

GENERASI BARU DAN IMAJINASI POLITIK

Fenomena itu sekaligus menandai lahirnya cara baru berpolitik. Generasi Z tidak tumbuh bersama jargon partai atau manifesto ideologi. Mereka justru dibentuk oleh budaya pop global, yaitu manga, anime, film superhero, novel fantasi. 

Imajinasi politik mereka tidak kaku, tetapi cair, penuh referensi silang. Jika generasi 1945 di Indonesia mendapat inspirasi dari puisi Chairil Anwar dan generasi reformasi 1998 mengutip semangat dari novel-novel Pramoedya, generasi 2025 menemukan tokoh perlawanan dalam Luffy dan kru bajak lautnya. 

Mereka tidak menulis manifesto panjang, cukup mengibarkan bendera fiksi untuk menyampaikan pesan.

Intertekstualitas itu hidup. Pembaca yang dalam hal ini adalah generasi muda tidak hanya mengonsumsi teks dan menonton film, tapi juga menggunakannya untuk menulis ulang kenyataan. Jalanan jadi halaman baru. Demonstrasi jadi buku terbuka. 

Pun, bendera One Piece jadi kalimat pertama dari bab perlawanan mereka. Sastra kontemporer tidak selalu berupa puisi atau novel. Ia bisa muncul dalam bentuk simbol visual yang viral, meme, mural, hingga bendera anime. Ia adalah sastra yang menyeberang media dari panel manga ke jalanan, dari layar ke ruang publik. 

Pada akhirnya, fenomena itu membuktikan bahwa sastra berkaitan erat dengan masyarakat. Ia bisa berangkat dari bait puisi jadi meme, dari novel jadi panji, dari teks panjang jadi simbol visual yang mudah diingat. 

Ironisnya, di tengah krisis kepercayaan pada pidato politik, kadang sebuah bendera fiksi bisa terasa lebih jujur daripada seribu kata resmi. (*)


*) Jiphie Gilia Indriyani adalah dosen, penyuka kopi, musik, dan film.--

 

Kategori :