Di sini, bendera topi jerami bukan hanya teks fiksi, melainkan teks yang menyeberang ke ranah lain menjadi teks politik jalanan.
Sopir truk Indonesia, mahasiswa Nepal, dan demonstran Paris sama-sama membacanya ulang, menulis ulang makna baru dengan cara mengibarkannya. Bendera itu tidak lagi milik Eiichiro Oda, penulis One Piece, tetapi milik siapa pun yang sedang melawan.
MAKNA DAN TAFSIR GLOBAL
Setiap demonstrasi bisa dibaca seperti drama kolektif. Tokoh terdiri dari rakyat, pemerintah, aparat keamanan.
Ada konflik yang terjadi seperti ketidakadilan, represi, sensor. Ada klimaks yang menjadi sorotan, yaitu gas air mata yang ditembakkan, truk yang dihentikan, atau pidato pejabat di layar televisi.
Dan, di tengah drama itu, bendera topi jerami hadir sebagai properti panggung yang menyatukan narasi bersama. Namun, maknanya tidak pernah tunggal.
Di Indonesia, bagi masyarakat yang menitipkan bendera itu pada truk, dibaca sebagai simbol kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah. Sebagian menyimbolkan sebagai perlawanan terhadap aturan yang dianggap semena-mena.
Pemerintah menudingnya makar. Tuduhan itu justru membuat simbol tersebut makin populer. Banyak pro dan kontra di media sosial, sementara bendera One Piece tetap berkibar.
Di Nepal, gen Z menganggap bendera One Piece sebagai lambang kebebasan bersuara. Mereka membacanya ulang, bajak laut bukan kriminal, tapi perjuangan melawan represi digital.
Pada konteks ini, tengkorak dengan topi jerami berubah menjadi ikon yang menyatukan keresahan anak muda atas sensor media sosial, pembatasan ruang ekspresi, dan korupsi yang merajalela.
Ketika bendera itu berkibar di Nepal, ia seakan menjadi terjemahan visual dari tuntutan mereka.
Dengan mengadopsi bendera dari fiksi yang ebrasal dari Jepang ke dalam realitas politik lokal, gen Z Nepal membuktikan bagaimana budaya pop global bisa dipinjam untuk mengartikulasikan maslaah yang sangat kontekstual dan mendesak.
Di Prancis, bagi demonstran, simbol itu lebih berfungsi sebagai elemen kratif ketimbang panji ideologis. Bendera One Piece hadir di tengah poster, spanduk, dan slogan yang keras. Memberikan nuansa segar dalam demonstrasi menolak pemotongan anggaran.
Ia menjadi budaya pop yang mampu menembus batas politik, menghadirkan bahasa protes yang ringan tetapi justru efektif karena mudah dikenali.
Satu simbol, tiga tafsir. Di sinilah intertekstualitas Julia Kristeva bekerja, teks fiksi yang sama dipahami berbeda sesuai konteks sosial dan politik. Sama dengan karya sastra yang dibaca ulang oleh pembaca berbeda-beda, bendera ini adalah teks terbuka yang cair.
Di Indonesia ia menjadi suara kekecewaan terhadap regulasi; di Nepal ia menjadi lambang kebebasan digital; dan di Prancis ia tampil sebagai estetika dalam demonstrasi. Dengan begitu, protes tidak lagi sekadar peristiwa politik.