BACA JUGA:DVI Polda Jatim dan NU Peduli Tangani Pemulasaran Santri Korban Musala Ambruk Ponpes Al-Khoziny
Negeri ini terlalu sering membiarkan ruang pendidikan tumbuh tanpa standar keselamatan. Sekolah reot tetap dipakai, asrama retak tetap ditempati. Hingga akhirnya tragedi datang dan semua kembali pura-pura terkejut.
Setiap kali duka semacam ini terjadi, kita tergesa-gesa mencari kambing hitam: menyalahkan alam, usia bangunan, bahkan takdir. Padahal, sebelum dinding itu retak, ada tanda-tanda yang semestinya terbaca.
Sebelum atap itu runtuh, ada kelengahan yang semestinya dapat dicegah. Nyawa anak-anak bukan sekadar angka di berita. Mereka adalah amanah yang kini pecah berkeping-keping.
BACA JUGA:Dari Mekkah, Alumni Al-Khoziny Laksanakan Badal Umroh untuk Para Korban Musala Rubuh
BACA JUGA:Foto Korban Ponpes Al-Khoziny Korban Diperlukan untuk Identifikasi Jenazah, Tes DNA Jadi Opsi Akhir
Sungguh tragis. Di negeri dengan puluhan ribu pesantren, masih ada bangunan roboh karena lalai memperhatikan keselamatan. Kita sibuk membangun gedung tinggi, bandara megah, jalan tol berlapis aspal.
Namun, di sudut-sudut negeri, ada anak-anak yang tidur di asrama rapuh, belajar di ruang kelas retak, mandi di kamar kecil yang nyaris ambruk. Di sanalah wajah sejati negeri ini: gemerlap di atas, keropos di bawah.
Tragedi Buduran semestinya menjadi peringatan keras. Setiap pesantren, setiap sekolah, setiap rumah ibadah tempat anak-anak berkumpul haruslah berdiri bukan hanya di atas doa, tetapi di atas tanggung jawab dan standar keselamatan.
Doa tanpa kewaspadaan hanyalah ilusi. Bata tanpa perhitungan hanyalah jebakan. Dinding tanpa pengawasan hanyalah nisan yang menunggu waktu.
Kita tentu berduka untuk sedikitnya enam puluh anak yang wafat di Buduran –dan mungkin masih ada yang belum ditemukan. Namun, duka saja tak cukup. Duka harus menjelma kesadaran.
Agar tak ada lagi pesantren yang roboh, tak ada lagi sekolah yang ambruk, tak ada lagi anak-anak yang pulang dari ruang belajar dalam kantong jenazah.
Robohnya Surau Kami adalah fiksi. ”Robohnya pesantren kami” adalah kenyataan yang menetes darah. Navis menulis satire, sejarah menulis elegi. Dan, dari darah itu, semestinya kita belajar: jangan biarkan doa anak-anak terhenti di tengah reruntuhan, jangan biarkan pesantren menjadi kuburan, jangan biarkan abai menjadi warisan.
Kepada mereka yang telah pergi –Azzam, Fadilah, Syaifullah, Yumna, Halim, dan nama-nama lain yang tak lagi bisa disebut lengkap karena tubuhnya tak dikenali– biarlah tulisan ini menjadi doa.
Bahwa tawa kalian tak hilang sia-sia. Bahwa nama kalian adalah peringatan. Bahwa wajah negeri ini wajib berubah agar tak ada lagi pesantren yang roboh bersama masa depan anak-anak. (*)
*) Ady Amar adalah kolumnis, tinggal di Surabaya.