Harus diakui, kegiatan yang paling menggairahkan bagi peserta China International Press Communication Center (CIPCC) adalah pelajaran budaya. Terlebih kalau sambil mengunjungi langsung tempatnya. Seperti di Tembok Besar Tiongkok alias 萬里長城 (Wànlǐ Chángchéng).
LANGIT Beijing tampak kelabu, Jumat, 10 Oktober 2025. Awan menggantung rendah. Matahari muncul. Tapi tetap tak mampu mengusir dingin yang mulai menggelitik tulang. Termometer di ponsel menunjukkan 11 derajat celsius.
Dua hari sebelumnya, beberapa di antara kami sudah gelisah. Bagaimana jika hujan? Apakah kunjungan akan dibatalkan? Pasti sayang sekali. Sebab, banyak jurnalis yang belum pernah menyambangi tembok sepanjang 21 ribu kilometer itu. Dari Provinsi Gansu di timur sampai Hebei di sisi barat.
’’Dingin sih oke. Tapi kalau hujan, itu problem lain,’’ ucap seorang jurnalis.
Untung tidak hujan. Sehingga kami pun berangkat. Menuju salah satu bagian paling bersejarah dari Tembok Besar Tiongkok. Yakni, Juyongguan.
BACA JUGA:Peluncuran Buku Ramadan Tak Terlupakan: Talk Show Plagiarisme dari Perspektif Hukum HKI dan Pidana
Letaknya sekitar 60 kilometer di utara pusat kota Beijing. Juyongguan berada di Distrik Changping. Di sebuah lembah panjang bernama Guangou.
Lembah itu membentang sejauh 18 kilometer. Diapit dua gunung besar yang menjadi jalur alami menuju ibu kota kuno. Inilah sebabnya mengapa sejak ribuan tahun lalu, tempat itu menjadi gerbang strategis pertahanan Beijing.
Dalam catatan Dinasti Yuan (1271–1368), kawasan itu sudah digunakan sebagai pos pengawasan. Namun bentuk tembok megah seperti sekarang dibangun pada masa Dinasti Ming (1368–1644). Yakni ketika ancaman dari utara—terutama bangsa Mongol—masih kuat.
Kaisar Ming memerintahkan pembangunan ulang tembok dan menara penjagaan di lembah tersebut. Sebagai benteng pertama jika terjadi serangan.
ROMBONGAN TURIS mendaki tangga Juyongguan. Titik itu adalah bagian terjal di awal pendakian.-Doan Widhiandono-
Tembok di Juyongguan tebal dan tinggi. Lebarnya mencapai 5–7 meter. Cukup untuk lima prajurit berjajar atau dua kuda berpapasan. Tingginya sekitar 8–10 meter.
Seluruh strukturnya dibangun dari batu bata besar yang direkatkan dengan campuran kapur dan tepung ketan. Itulah formulasi khas era Ming yang membuatnya tetap kukuh hingga kini.
Kami tiba di kawasan itu pukul 09.30 pagi. Udara di gerbang utama berembus kuat. Sejumlah kendaraan wisata menurunkan rombongan turis dari berbagai negara. Sebagian dari mereka langsung sibuk berfoto. Dari titik itu, perjalanan mendaki dimulai.