Memaknai Pidato ”Braveheart” sang Presiden

Senin 13-10-2025,08:33 WIB
Oleh: Imam Sofyan*

BACA JUGA:Healing Prabowo

Atas dasar itu, makna jika kekuatan tidak otomatis benar, maka ”yang benar haruslah benar”. Prinsip itu bukan sekadar bernilai permainan kata, melainkan sebagai alarm bahwa kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia adalah fondasi yang seharusnya ditempatkan melampaui logika kekuasaan.

PALESTINA: CERMIN LUKA KEMANUSIAAN

Pidato sang presiden itu juga seolah menancapkan jangkar pada dasar persoalan yang menggeluti negara-bangsa Palestina. Bahwa selama lebih dari tujuh dekade, rakyat Palestina hidup dalam situasi penjajahan, pengusiran, dan blokade yang boleh dibilang nyaris permanen. 

Publik dunia tak luput dari menyaksikan terus-menerus, rentetan peristiwa memilukan tahun demi tahun, bagaimana ribuan korban sipil berjatuhan, anak-anak tumbuh dalam bayang-bayang konflik yang tak berkesudahan, dan ironi dari sebuah bangsa yang dirampas haknya untuk merdeka.

Namun, sekali lagi, fakta ”might over right” memperlihatkannya secara kasatmata. Israel yang didukung kekuatan besar, terutama Amerika Serikat, menjadikan tragedi itu terus berlangsung hingga kini. Beragam mekanisme hukum internasional, termasuk resolusi PBB, sering kali dipatahkan dan diabaikan. 

Di sinilah letak suara sang presiden menjadi penting. Indonesia, dengan sejarah panjang antikolonialisme dan prinsip politik luar negeri bebas aktif, kembali dihadirkan untuk mengingatkan pada dunia bahwa hak untuk merdeka adalah hak kodrati semua bangsa. 

Ucapan ”right must be right” bukanlah sekadar retorika, melainkan gema dari amanat konstitusi kita sendiri sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945, ”bahwa segala bentuk penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

MELAWAN NARASI NEGARA ADIKUASA

Jika melihat dari kacamata teori hegemoni Antonio Gramsci (1937), ketegasan sang presiden dapat dimaknai sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni negara adikuasa. Dunia internasional hari ini terbukti tidak hanya dikuasai senjata, tetapi juga oleh narasi. 

Narasi ”perang melawan terorisme”, misalnya, seolah umum dipakai untuk membenarkan tindakan represif terhadap rakyat Palestina. 

Performa sang presiden mencoba membalik narasi tersebut. Dengan kalimat singkat, ia berusaha menegaskan bahwa kebenaran tidak boleh dikalahkan oleh narasi bentukan kekuatan hegemoni. 

Dalam konteks ini, dukungan Indonesia bagi Palestina adalah bentuk perlawanan simbolis terhadap dominasi wacana global yang kerap menyingkirkan suara korban (rakyat Palestina).

Lebih jauh, pernyataan itu dapat dibaca sebagai upaya membangun kontra-hegemoni, yakni dengan menyodorkan cara pandang alternatif terhadap eskalasi dunia yang timpang. 

Kontra-hegemoni tidak berarti menolak realitas kekuatan sama sekali, tetapi menegaskan bahwa kekuatan hanyalah sah jika dipandu oleh nilai moral dan kemanusiaan.

”BRAVEHEART” SANG PRESIDEN

Kategori :