Selain itu, pelatihan penjamah makanan, penggunaan alat rapid test kit untuk uji kualitas bahan pangan, serta akreditasi wajib bagi SPPG sebelum beroperasi juga mulai diterapkan.
“Langkah-langkah ini patut diapresiasi sebagai respons cepat, tetapi seharusnya menjadi sistem permanen, bukan tindakan reaktif. Keamanan pangan harus menjadi budaya kerja, bukan sekadar prosedur administratif,” tegas Edy.
Siswa SD menyantap MBG saat jam istirahat di sekolah.-Dimas Rachmatsyah / Jabar Ekspres-
BACA JUGA:Draf Perpres MBG Sudah di Meja Presiden, Kapan Disahkan?
Secara ekonomi, MBG disebut telah menggerakkan UMKM pangan, petani, dan nelayan lokal. Namun Edy menilai, dampak ekonomi program tersebut masih perlu diuji dengan data konkret, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) yang belum merasakan manfaat secara merata.
Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024, angka stunting nasional memang turun dari 21,5 persen menjadi 19,8 persen. Namun Edy menilai, dampak MBG terhadap penurunan stunting belum bisa disimpulkan karena program ini baru berjalan kurang dari satu tahun.
“Menurunkan stunting tidak bisa diukur dalam satu tahun. Intervensi gizi harus dilakukan sejak remaja, calon pengantin, ibu hamil, hingga anak usia dua tahun. MBG hanya salah satu bagian dari rantai panjang itu,” jelasnya.
BACA JUGA:Program MBG di Banjar Diduga Sebabkan 75 Orang Keracunan
Untuk memastikan efektivitasnya, DPR mendesak pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan dan BGN untuk melakukan survei gizi tahunan bagi penerima manfaat MBG. Edy juga menekankan pentingnya percepatan penerbitan Perpres Tata Kelola MBG agar pelaksanaan program memiliki dasar hukum yang jelas dan transparan.
“Keberhasilan MBG tidak bisa diukur dari jumlah porsi yang dibagikan, tapi dari perubahan nyata, yakni gizi anak membaik, kasus keracunan menurun, ekonomi lokal bergerak, dan sistem pengawasan bekerja,” pungkasnya.(*)
*)Mahasiswa magang dari Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Trunojoyo Madura|