Malaysia juga berhasil mengintegrasikan sekolah-sekolah pondok ke dalam sistem pendidikan nasional, memberikan anggaran, dan meningkatkan kualitasnya tanpa menghilangkan jati dirinya. Mereka tidak memandang institusi agama sebagai beban, melainkan sebagai aset strategis.
MENEGAKKAN KEADILAN PENDIDIKAN
Perhatian terhadap pesantren bukan semata urusan keagamaan, melainkan bentuk keadilan sosial. Pesantren telah lama menjadi ruang bagi anak-anak dari keluarga miskin untuk tetap belajar dan menata masa depan. Mereka mengandalkan kemurahan hati kiai dan solidaritas masyarakat untuk bertahan.
Sikap setengah hati negara juga tecermin di parlemen. Tidak masuknya Rancangan Undang-Undang (RUU) Pondok Pesantren ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas DPR RI menunjukkan minimnya kemauan politik untuk memberikan payung hukum yang kuat bagi pengembangan pesantren. Padahal, regulasi itu krusial untuk menjamin afirmasi negara secara berkelanjutan.
Negara selayaknya hadir melalui kebijakan afirmatif. Segeralah memberikan alokasi anggaran pendidikan yang menjangkau pesantren secara adil, mengadakan pelatihan peningkatan kompetensi tenaga pengajar, serta memberikan pendampingan kurikulum terpadu yang menguatkan wawasan kebangsaan dan literasi digital santri.
Bila langkah-langkah itu dilakukan, bukan hanya bangunan pesantren yang kokoh berdiri, melainkan juga jiwa bangsa yang lebih kuat. Sebab, di balik kesederhanaannya, pesantren adalah sekolah kehidupan yang terus menyalakan api keikhlasan. Sesuatu yang kini kian langka dalam sistem pendidikan kita. (*)
*) Yayan Sakti Suryandaru adalah dosen Departemen Komunikasi, FISIP, Universitas Airlangga, Surabaya.-Dok Pribadi-