Prosesi-prosesi tradisional tersebut kerap dianggap terlalu rumit, mahal, atau tidak relevan oleh pasangan muda. Banyak dari mereka memilih memangkas tahapan adat. Bahkan menghapus seluruhnya demi efisiensi.
BACA JUGA:Mengenal Perbedaan Tradisi Pernikahan Tionghoa Sangjit dan Tingjing
BACA JUGA:JW Marriott Surabaya Hadirkan Kemegahan Jawa Keraton di Pameran Pernikahan Tradisional
Di situlah titik tarik-menarik terjadi antara semangat kesederhanaan dan kekhawatiran akan hilangnya makna tradisi.
Semakin banyak pasangan memilih intimate wedding karena ingin pernikahan yang hangat dan personal.--Oleksandr Diachenko
Tak dapat dimungkiri, intimate wedding menawarkan solusi bagi pasangan muda. Khususnya mereka yang ingin menghindari tekanan biaya dan ekspektasi sosial yang tinggi.
Namun, ketika efisiensi menjadi alasan utama, unsur simbolik dalam adat pernikahan bisa tergerus oleh modernitas.
Misalnya, dalam adat Jawa, siraman bukan hanya ritual pembersihan diri. Tetapi juga bentuk restu orang tua kepada anaknya sebelum menikah.
BACA JUGA:Merinding! 320 Vendor Wedding Patungan Demi Nikah Massal Surabaya
Begitu pula upacara mapacci di Bugis yang melambangkan doa dan keberkahan keluarga besar. Jika semua itu dihapus demi acara singkat dan minimalis, maka yang hilang bukan sekadar prosesi. Tetapi juga makna kultural di baliknya.
Budayawan Romo Sindhunata pernah menyinggung fenomena serupa. Ia menilai generasi muda seharusnya “tidak hanya meniru bentuk tradisi. Tetapi juga memahami rohnya.”
Tradisi bisa disederhanakan. Namun, tidak seharusnya dihapuskan. Karena di sanalah identitas kolektif bangsa terpelihara.
Meski begitu, bukan berarti intimate wedding adalah ancaman mutlak bagi budaya. Justru tren itu dapat menjadi ruang eksplorasi baru dalam mengemas nilai-nilai adat. Lantas menghadirkannya dengan cara yang lebih relevan dan personal.
BACA JUGA:Rencanakan Wedding Lebih Intimate, Kunjungi Love In The City
BACA JUGA:Angga Yunanda dan Shenina Cinnamon Gelar Intimate Weddding dengan Adat Minang Bernuansa Putih