Kesamaan karakter sebagai wilayah industri dan pelabuhan menjadi fondasi, tetapi yang membuatnya bertahan adalah tiga pilar utama.
Yaitu, mekanisme koordinasi teknis yang kuat, pertukaran budaya dan pendidikan yang berkelanjutan, serta partisipasi aktif masyarakat dan dunia usaha. Dengan sistem yang mapan, kerja sama itu tetap stabil meski mengalami pergantian kepemimpinan politik.
Contoh lain adalah kemitraan Jawa Timur dengan Osaka (Jepang) dan Australia Barat sejak 1984, yang fokus pada pengembangan pariwisata, pendidikan, dan teknologi lingkungan melalui program-program nyata seperti pertukaran pelajar dan pelatihan guru vokasi.
Yang terbaru, kerja sama dengan Tianjin di Tiongkok yang menawarkan potensi besar dalam transfer teknologi, penguatan industri, logistik, dan pengembangan ekonomi biru.
Kunci suksesnya terletak pada kemampuan mendorong pertemuan nyata antara Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur dan asosiasi pengusaha di Tianjin, menunjukkan bahwa kolaborasi bisnis adalah penggerak utama.
PELAJARAN YANG BISA DIAMBIL
Inti pelajaran dari perjalanan Surabaya dan Varna adalah niat baik dan kesamaan karakter belaka tidaklah cukup. Sebuah kerja sama memerlukan rencana strategis yang matang, mekanisme pelaksanaan yang jelas, dan komitmen jangka panjang yang konsisten.
Arahnya haruslah pada penguatan kapasitas lokal melalui pelatihan, pendidikan, dan pertukaran keahlian. Yang tak kalah penting adalah membangun komunikasi antarmasyarakat secara langsung (people-to-people).
Sebab, dari situlah saling pengertian (people-to-understanding) lintas budaya tumbuh, kepercayaan dibangun, dan kesalahpahaman dapat dihindari.
Pada akhirnya, prinsip keuntungan bersama (mutual benefit) harus menjadi kompas utama. Setiap pihak harus merasakan manfaat nyata, baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya.
Dalam konteks ini, strategi komunikasi dan diseminasi informasi yang masif kepada publik menjadi elemen krusial. Tanpa sosialisasi yang berkelanjutan, program sister city atau sister province riskan dan sering kali masih dianggap sebagai proyek elite pemerintah yang terpisah dari kebutuhan riil masyarakat.
Dengan melibatkan publik sejak awal, mereka tidak hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga pengawas dan pelaku aktif yang memastikan kerja sama tetap relevan dan transparan.
PENUTUP
Sangat penting untuk ditekankan bahwa kerja sama internasional tidak harus selalu megah dan mahal. Justru, inisiatif yang sederhana tetapi berorientasi pada aksi nyata acap kali membawa dampak yang lebih besar dan langsung terasa.
Pertukaran pelajar tingkat SMA, pelatihan kewirausahaan digital bagi pemuda, atau proyek daur ulang sampah bersama adalah contoh-contoh konkret yang dapat memperkuat kapasitas lokal sekaligus menjadi instrumen soft diplomacy yang ampuh.
Jika dikelola dengan baik, program sister city dan sister province bukan lagi sekadar simbol diplomasi, melainkan investasi sosial dan ekonomi yang berharga untuk membentuk masa depan kota-kota global yang lebih terhubung, inklusif, dan berkelanjutan. (*)