Jadi, dalam logika MK, tidak perlu 200 juta orang yang menggugat untuk membuktikan pelanggaran konstitusi. Cukup satu pihak yang dirugikan secara nyata, itu sudah cukup kuat secara hukum.
Dalam konteks UU Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, isu tersebut memang menarik. Negara membuka ruang umrah mandiri.
Jamaah bisa berangkat tanpa lewat PPIU. Di permukaan, terlihat modern, efisien, bahkan terdengar ”demokratis”. Namun, di balik itu, banyak PPIU yang merasa disingkirkan.
Padahal, selama ini PPIU telah menjalankan pelayanan dengan serius dan professional, bukan sekadar sebagai biro perjalanan biasa.
Namun, mereka itu sudah menjadi bagian dari ekosistem ekonomi umat yang menumbuhkan koperasi, perbankan syariah, UMKM penyedia perlengkapan, dan lapangan kerja ribuan orang.
Maka, ketika regulasi memberikan kebebasan penuh bagi ”mandiri”, tetapi membelenggu PPIU dengan segudang aturan dan batas harga, sesungguhnya negara menciptakan ketimpangan struktural dalam ekosistem ibadah.
Itulah yang disebut dalam teori hukum sebagai constitutional discrimination, diskriminasi yang bersumber dari kebijakan negara.
Karena itu, rencana untuk mengajukan judicial review bukanlah soal ”takut bersaing”. Namun, ini soal hak konstitusional untuk diperlakukan adil dan setara di hadapan hukum, sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Lebih dari itu, Pasal 33 ayat (4) menegaskan, ”perekonomian nasional disusun atas asas kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, dan kemandirian.” Nah, di mana letak kebersamaan itu jika satu pihak diberi kebebasan total dan pihak lain dipasung oleh regulasi?
KEADILAN KONSTITUSIONAL: MINORITAS PUN DILINDUNGI
Kita ini memang masyarakat yang sering lupa bahwa konstitusi dibuat justru untuk melindungi yang lemah dari tirani mayoritas. Kalau hanya mayoritas yang dilindungi, ya kita tak butuh konstitusi, cukup survei atau berdasar algoritma dan viral.
Sebab itu, MK dibentuk. Ia menjadi penjaga konstitusi, bukan penjaga statistik.
MK tidak pernah menimbang ”berapa banyak” yang rugi atau untung. MK menimbang apakah kerugian itu nyata, langsung, dan disebabkan oleh undang-undang.
Kalau iya, bahkan satu badan hukum, seperti satu PPIU pun, berhak berdiri di depan meja MK dengan membawa argumen konstitusionalnya.
Sebagaimana ditulis Prof Jimly Asshiddiqie dalam Hukum Tata Negara dan Pilar Demokrasi (2006), ”Mahkamah Konstitusi bukanlah pengadilan jumlah, melainkan pengadilan prinsip”. Ia menjaga agar konstitusi tidak direduksi oleh suara terbanyak, tetapi ditegakkan atas dasar keadilan substantif.
Maka, kalau ada yang kasih bertanya, ”apa mungkin diterima jika PPIU mengajukan JR? Jumlah PPIU kan cuma tiga ribu, sedangkan umat dua ratus juta,” maka setelah membaca tulisan ini, Anda harus menjawab: ”Jangankan seluruh PPIU, apalagi seluruh asosiasi PPIU, yang mengajukan JR, satu PPIU saja sudah memenuhi syarat”.