”Aku tidak melarat. Aku dan keluarga sering kekurangan uang. Pindah dari kontrakan yang sempit ke kontrakan yang tidak kalah kumuh. Makan seadanya. Tapi, tidak berarti aku melarat. Kami bahagia. Kami kaya. Aku, istriku, anak-anakku, saling membahagiakan. Kemelaratan itu hanya persoalan mental. Bukan kepemilikan harta.” (Sukidi, Kompas, 19 Juni 2025).
Mental kaya perlu ada dalam sanubari seorang pemimpin. Laku mereka dituntun oleh cahaya kebenaran dan keadilan sejak dalam pikiran. Mental kaya pun akan menjauhkan mereka dari laku bejat. Mereka akan malu saat melakukan kesalahan.
Mereka juga akan malu saat ada harta yang tak halal masuk dalam perut mereka. Mereka pun akan terus berujar arti penting kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Mereka mengesampingkan kepentingan diri dan golongan demi untuk membayar amanat adi luhur kepemimpinan.
Selanjutnya adalah miskin keteladanan sikap dan tanggung jawab. Betapa kita dengan telanjang dapat melihat pejabat pemerintah tak satu pun yang memiliki rasa malu.
Kematian lebih dari sepuluh orang akibat amuk massa yang ditanggapi dengan represi di beberapa daerah tak mengetuk pintu kesalehan pemimpin. Mereka seakan tidak bersalah atas jatuhnya korban jiwa.
Seloroh ”jika saya mundur, kondisi tidak akan lebih baik” menunjukkan sikap kesombongan dan keserakahan sejati. Seakan tidak ada orang lain yang mampu mengurai masalah itu kecuali ia. Padahal, di tangannya telah banyak keluarga kehilangan orang yang dicintai.
Kematian dianggap sebagai sebuah hal biasa dalam perjalanan hidup. Terlindas mobil taktis berlapis baja pun dianggap sebagai kelalaian kecil. Terbakar dalam kepungan api menyala dianggap sebagai konsekuensi logis dari sebuah kejadian.
Dua potret kematian mengerikan itu sebenarnya menggambarkan wajah, betapa pemerintah gagal memahami kehendak alam. Mereka seakan lupa amanat kepemimpinan itu adalah merawat kehidupan bangsa.
Kematian satu orang dengan cara yang mengenaskan itu telah mencabik rasa keadilan. Ironisnya, tak ada satu pun dari mereka yang kita tunjuk sebagai seorang pemimpin mengaku bersalah dan meletakkan jabatannya sebagai bukti rasa bersalah dan pertanggungjawaban moral kepada semesta.
Teror kesejahteraan memang mengerikan di negeri yang konon kaya raya ini. Data Kementerian Keuangan menunjukkan, sampai akhir tahun 2024, kekayaan Indonesia mencapai Rp13.692,4 triliun.
Kekayaan Indonesia itu ternyata tidak mampu mengangkat derajat bangsa pada level kesejahteraan. Kesejahteraan itu terwakili oleh mereka yang mampu merampok kekayaan republik. Kesejahteraan hanya bagi mereka yang berada di pucuk-pucuk kekuasaan.
Kekuasaan pun hanya digilir oleh sekelompok kecil orang yang saling mengapit keburukan satu sama lain. Mereka saling menjaga agar laku korup tidak tercium dan terbongkar.
Mereka saling menjaga koloni agar kesejahteraan yang terwakili itu terus berada dalam genggaman. Jika ada pihak yang ingin memecah melalui lubang kecil itu, harus segera ditutup dengan tuduhan.
Ironisnya, tuduhan itu selalu disandarkan kepada ”hukum” yang mereka telah buat. Tuduhan tersebut seakan menjadi ampuh saat semua telah ”dikondisikan”.
Jika hal itu terus mampu mengusik ketenangan koloni, jalan terakhir adalah sedikit membuka kenikmatan. Artinya, ”musuh” perlu ditundukkan dengan jalan menjadikan mereka memiliki sedikit nikmat kekuasaan.
Pangkuan kekuasaan itulah yang akhirnya mematikan imajinasi dan nalar jernih untuk bersuara lantang. Dipangku mati, begitu dalam falsafah Jawa. Suara itu pun kian lirih, bahkan sunyi. Kesunyian itu pun berpadu pada bisingnya ruang bisu.