Stimulus pertama berupa diskon transportasi yang mencakup diskon tiket kereta api, diskon tiket pesawat, serta diskon tarif angkutan laut selama masa libur sekolah.
Kedua, pemerintah memberikan potongan tarif tol dengan target sekitar 110 juta pengendara dan berlaku pada musim liburan sekolah pada Juni-Juli 2025. Stimulus yang memanfaatkan puncak arus kunjungan wisatawan ke berbagai spot pariwisata.
Ketiga, pemerintah menambah alokasi bantuan sosial berupa kartu sembako dan bantuan pangan dengan target 18,3 juta keluarga penerima manfaat (KPM) yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk bulan Juni-Juli 2025.
BACA JUGA:Konteks Kenaikan PPN 12 Persen, Gus Yahya: Masyarakat Perlu Pahami Agenda Fiskal
BACA JUGA:Eri Cahyadi Usulkan TKD Berbasis Kekuatan Fiskal Daerah
Paket stimulus keempat berupa bantuan subsidi upah (BSU) bagi pekerja dengan gaji di bawah Rp3,5 juta atau UMP serta guru honorer.
Stimulus kelima, pemerintah memperpanjang program diskon iuran jaminan kecelakaan kerja (JKK) bagi pekerja di sektor padat karya.
Sejumlah paket stimulus yang ketika diluncurkan pada 5 Juni lalu diharapkan bisa mendongkrak konsumsi masyarakat pada kenyataannya belum mampu mengungkit pertumbuhan ekonomi daerah ke angka yang diharapkan.
Pemerintah pusat juga mengajak pemda untuk berperan aktif menciptakan kegiatan pariwisata dan hiburan lokal guna mendorong pergerakan masyarakat dalam negeri selama masa liburan sekolah sehingga diharapkan dapat terus menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi nasional.
Bukannya muncul letupan aktivitas ekonomi, kolaborasi dana stimulus pusat dengan anggaran fiskal daerah yang diharapkan ”memanasi” mesin ekonomi tampaknya jauh panggang dari api ketika dana pemda lebih banyak diparkir di perbankan ketimbang untuk mengeksekusi program-program pembangunan yang bersifat ekonomi produktif.
IMPLIKASI DANA MENGENDAP
Dalam pengelolaan anggaran publik, fenomena dana yang mengendap di perbankan oleh pemda telah menjadi sorotan belakangan ini.
Dana yang seharusnya digunakan untuk membiayai program-program pembangunan daerah justru tidak dimanfaatkan secara optimal. Faktor apa yang menjadi penyebab dana pemda mengendap, dampaknya terhadap perekonomian daerah, serta solusi untuk mengatasi masalah ini.
Terjadinya polemik antara Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi seputar selisih dana alokasi pusat dengan daerah telah menunjukkan ketimpangan manajemen anggaran dan rendahnya aspek transparansi dalam pengelolaan dana publik. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyoroti tingginya dana mengendap milik pemda di perbankan.
Hingga akhir Agustus 2025, total dana mengendap pemda di perbankan mencapai Rp233,11 triliun. Jumlah tersebut meningkat Rp40,54 triliun jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2024 sebesar Rp192,57 triliun, sekaligus menjadi yang tertinggi sejak 2021.
Dalam polemik itu, telah ditemukan fakta akan rendahnya serapan anggaran daerah hingga kuartal III-2025 dan menyebut masih terdapat dana besar yang belum dieksekusi di rekening pemda. Tingginya dana menganggur tersebut sangat kontras dengan realisasi belanja daerah.