Harian Disway di China International Press Communication Center (CIPCC) (74): Tak Lagi Tinggal di Dalam Lempung

Rabu 05-11-2025,15:12 WIB
Reporter : Doan Widhiandono
Editor : Noor Arief Prasetyo

Desa Sanhe di pegunungan Liangshan, Provinsi Sichuan, adalah simbol kesejahteraan. Warganya lepas dari kemiskinan absolut. Ceritanya penuh bumbu heroik.

JALAN menuju Desa Sanhe sungguh penuh liku. Naik-turun. Kiri-kanan. Tikungan seolah tak berhenti. Terlebih, pagi itu, Kamis 23 Oktober 2025, cuaca cukup dingin. Berkabut tebal. Bus yang kami—peserta program China International Press Communication Center (CIPCC)—tumpangi harus berjalan pelan.

Kabut itu menutupi pemandangan di sekitar kami. Saat sesekali kabut tersingkap, tampak areal pertanian yang menyembul. Juga perbukitan. Atau pasar tradisional.

Desa Sanhe terletak di Kabupaten Zhaojue, Prefektur Otonom Yi Liangshan. Jaraknya sekitar 500 kilometer di selatan Chengdu, Provinsi Sichuan. Atau sekitar 800 kilometer di barat daya Chongqing. Kawasan pegunungan. Khas wilayah barat Tiongkok. Yang kalah maju dibanding kawasan timur itu.

BACA JUGA:Harian Disway di China International Press Communication Center (CIPCC) (73): Bekas Pos Logistik, Jadi Desa Wisata

BACA JUGA:Siswa ITCC Raih Beasiswa ke Tiongkok (6): Siap Taklukkan Dunia Siber

Desa itu pernah menjadi cerita pada 11 Februari 2018. Saat Imlek. Media-media besar Tiongkok—atau seluruh media—memberitakan desa terpencil tersebut. Betapa tidak: Presiden Xi Jinping blusukan ke tempat itu. Untuk merayakan Imlek bersama warga desa yang mayoritas suku Yi tersebut.

Sampai saat ini, jejak kunjungan itu masih tersebar. Saat mobil Xi berkelok-kelok melewati jalan pegunungan. Saat ia berjalan kaki menyusuri jalan setapak. Saat Xi disambut uluran tangan Jihao Yeqiu, salah seorang warga desa.

Kala itu, hari itu, Sanhe belum seperti sekarang. Tidak ada bangunan bata. Tidak ada jalan beton. Warganya hidup di rumah lempung berwarna kemerahan. Dindingnya gelap dan lembap. Atap yang bocor kerap membuat air menetes di dalam ruangan setiap kali hujan.

Xi tidak hanya berbincang. Ia duduk di bangku kayu kecil di ruang sempit. Ngobrol dengan Yeqiu yang kala itu hidup bersama istri dan lima anaknya.


PARA JURNALIS menghangatkan diri di perapian salah satu rumah lama di desa Sanhe. Rumah itu kini tidak lagi ditinggali. Warganya dipindah ke kaki bukit.-Doan Widhiandono-

Tapi itu tujuh tahun lalu…

Kini, Yeqiu tidak lagi tinggal di rumah tanah liat tersebut. Sekarang keluarganya menempati rumah baru seluas lebih dari 100 meter persegi, lengkap dengan dapur, kamar mandi, dan perabotan bersubsidi. Mereka pindah ke kawasan permukiman baru setelah relokasi massal oleh pemerintah daerah Liangshan.

Rumah itu dari tembok. Tetapi tetap disaput dengan warna tanah liat. Pekarangannya luas. Ditanami cabai. Yeqiu juga punya toko kelontong. Juga membuka konter bank lokal.

Ada kamera CCTV di depan rumahnya. ’’Untuk apa? Apakah kriminalitas tinggi?’’ tanya saya.

Kategori :