--
DALAM era pasca-pandemi, pemerintah Indonesia terus berupaya memperkuat fondasi ekonomi nasional melalui berbagai program intervensi sosial-ekonomi. Salah satu inisiatif unggulan yang menjadi sorotan adalah Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Diresmikan oleh Presiden Prabowo Subianto sebagai salah satu bagian dari visi pembangunan berkelanjutan. Program ini bertujuan untuk menyediakan makanan bergizi gratis bagi anak sekolah, ibu hamil, dan balita, dengan target meliputi jutaan penerima manfaat di seluruh wilayah Indonesia.
Di balik tujuan utamanya meningkatkan kualitas sumber daya manusia, MBG juga diharapkan memberikan dampak positif terhadap indikator makroekonomi daerah, khususnya perubahan konsumsi rumah tangga, daya beli masyarakat, dan laju inflasi wilayah.
Artikel ini menguraikan studi komparatif yang menganalisis pengaruh implementasi MBG terhadap ketiga indikator tersebut, dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah program berjalan. Analisis ini didasarkan pada data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia (BI), dan laporan awal implementasi program di beberapa wilayah uji coba seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur.
Sebagai studi komparatif, kami akan mengamati perubahan tren, faktor pendorong, serta implikasi kebijakan bagi pemerintah daerah dan masyarakat. Dengan demikian, artikel ini diharapkan memberikan wawasan berharga bagi pembuat kebijakan, pelaku ekonomi, dan masyarakat umum untuk memahami kontribusi MBG dalam pemulihan ekonomi inklusif.
BACA JUGA:Tegas! BGN Tutup Permanen Dapur SPPG Penyebab Keracunan dalam Program MBG
BACA JUGA:Tiga Hal Indonesia Belajar dari India Soal MBG, Begini Kata Mantan Direktur WHO
Latar Belakang Program MBG dan Konteks Ekonomi Daerah
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diperkenalkan pada awal 2024 sebagai respons terhadap tantangan gizi buruk yang masih melanda 27% anak Indonesia. Menurut data Kementerian Kesehatan, anggaran awal Rp 400 triliun per tahun, program Makan Bergizi Gratis (MBG) ini tidak hanya berfokus pada aspek kesehatan, tetapi juga dirancang untuk menggerakan sektor pertanian dan UMKM lokal melalui rantai pasok bahan makanan. Makanan Bergizi Gratis (MBG) dilaksanakan secara bertahap. Dimulai dari daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi, seperti wilayah Indonesia Timur hingga meluas ke Jawa dan Sumatera.
Sebelum pelaksanaan Makan Bergizi Gratis (MBG), indikator makroekonomi daerah menunjukkan pola yang tidak merata. Konsumsi rumah tangga, yang menyumbang sekitar 55% dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, mengalami penurunan pasca-pandemi. Data BPS tahun 2022-2023 mencatat bahwa pengeluaran rumah tangga untuk makanan mencapai 48% dari total pengeluaran, dengan inflasi pangan yang fluktuatif di kisaran 4-6% per tahun.
Daya beli masyarakat diukur melalui Indeks Harga Konsumen (IHK), dipengaruhi oleh kenaikan harga bahan pokok seperti beras dan sayuran, terutama di daerah pedesaan. Sementara itu, laju inflasi wilayah bervariasi: Jawa Barat mencatat inflasi 3,5% pada 2023, sedangkan NTT mencapai 5,2%, dipengaruhi oleh ketergantungan impor pangan.
Implementasi Makan Bergizi Gratis (MBG) diharapkan mengubah dinamika ini melalui mekanisme multiplier effect. Dengan menyediakan makanan gratis, program ini secara tidak langsung mengurangi beban pengeluaran rumah tangga, sehingga meningkatkan daya beli untuk kebutuhan lain. Selain itu, peningkatan permintaan bahan lokal dapat menekan inflasi melalui efisiensi rantai pasok.
BACA JUGA:Menuju Model Hybrid Pengelolaan MBG
BACA JUGA:BGN Buka Kerja Sama dengan India, Ingin Perkuat Eksekusi Program MBG
Studi komparatif ini akan membandingkan data pra-implementasi (2022-2023) dengan pasca-implementasi (2024, berdasarkan data awal enam bulan pertama).