Empat puluh sembilan tahun. Sebuah angka yang ganjil, sebelum nanti genap lima puluh di tahun mendatang—Insya Allah. Angka ini seakan jeda, ruang tunggu, sebuah napas panjang di antara "paruh pertama" dan "paruh kedua" kehidupan. Ia bukan puncak, tapi justru maqam (kedudukan spiritual) perenungan, di mana kita menoleh ke belakang dengan senyum, dan menatap ke depan dengan tekad yang kian mengeras, seperti baja yang ditempa di Kairo dulu.
Mengingat umurmu, berarti mengingat kembali perjalanan dan lorong waktu ketika kita sama-sama kuliah Al-Azhar di akhir 1990-an. Di sana, di bawah bayang-bayang menara yang menjulang, kita barangkali bukan sekadar mahasiswa pencari ilmu, tapi para pencari "perubahan." Kita sama-sama pernah menjadi aktifis dengan semangat hidup yang menyala, meski serba terbatas, terutama dalam hal ekonomi.
Di Senat Ushuluddin, di PPMI (Persatuan Pelajar dan Mahasiawa Indonesia), engkau pernah menjadi ketua dan saya sekertaris, dan saya menggantikannya tahun 200O. Lalu sama-sama di PCINU (Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama), Mesir, hingga Sanggar Terjemah Samahta ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) Korwil Kairo, engkau menjadi mementori kami para junior.
BACA JUGA:Hari Santri 2025: Antara Kemuliaan Pesantren dan Jerat Framing Negatif Media
BACA JUGA:Santri dan Jalan Sunyi Toleransi
Ruang-ruang dimana banyak waktu untuk diskusi dan berdebat keras yang semua itu adalah kawah candradimuka, tempat gagasan-gagasan dan kegelisahan-kegelisahan besar beradu: dari filsafat eksistensialisme Ibnu Arabi yang mistis namun membebaskan, hingga pemikiran Islam kiri model Hasan Hanafi yang menuntut keberpihakan pada kaum mustadh'afin (lemah), serta gagasan-gagasan segar dari para pembaru seperti Arkoun, Abid al-Jabiri, dan Nasr Hamid Abu Zaid.
Kita membacanya, lalu berdebat, dan bermimpi. Mimpi tentang Islam yang ramah, rasional, dan transformatif. Bukan Islam yang terpenjara dalam teks-teks usang, tapi Islam yang hidup, yang relevan dengan denyut nadi zaman dan tantangan umat. Lalu sampeyan singgah terlebih dulu di Malaysia melanjutkan program pascasarjana, dan semua itu seperti hanyalah prolog.
Di tanah air inilah panggung sesungguhnya. Sampeyan, dengan mengusung visi perubahan, mendirikan Pesantren Bina Insan Mulia, dari yang sebelumnya hanya diniyah tinggalan orang tua. Tentu saja, bukan sekadar pesantren biasa, tapi kawah candradimuka untuk "membuldoser mentalitas yang inlander", mencetak santri yang bermental pemimpin, bukan buruh atau kuli.
Ribuan santri kini menimba ilmu di sana, para alumni tersebar di kampus-kampus ternama, dari Timur Tengah hingga Eropa. Sebuah bukti nyata bahwa gagasan bisa bersemi menjadi realitas.
Sebelum sampai ke jalan pengabdian pendidikan, sampeyan pernah merintis Global Overseas, Fikruna Center, dan entitas lain, semua didasari semangat yang sama: pengabdian kepada umat dan perubahan sosial. Setiap langkah, setiap inisiatif, adalah manifestasi dari keyakinan bahwa pendidikan dan gerakan sosial adalah dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan dalam perjuangan ideologi.
Empat puluh sembilan tahun. Usia yang matang, saat hikmah mulai meresap dalam setiap tarikan napas. Seperti yang diajarkan oleh para sufi, ini adalah saat di mana kita kian sadar akan hakikat wujud (eksistensi) kita; bukan untuk diri sendiri, tapi untuk sesama, untuk perubahan yang lebih baik.
Selamat ulang tahun, sahabat Kiai Imam Jazuli. Angka 49 ini adalah pengingat bahwa perjalanan masih panjang, tapi bekal sudah cukup banyak terhimpun. Teruslah mendobrak tradisi yang membeku, teruslah menyalakan api perubahan. Di tahun mendatang, saat angka 50 menghampiri, kita akan merayakannya bukan sebagai akhir dari pencarian, tapi sebagai awal dari babak baru, dengan semangat yang tetap menyala, Insya Allah.
BACA JUGA:Ketika Penyidikan Kuota Haji Menjadi Labirin
BACA JUGA:Muhammadiyah, Civil Society, dan Rekonstruksi Baldah Thayyibah
Usia 49 juga semacam jembatan. Di seberang sana, 50 menanti. Angka yang spesial, katamu, sebelum genap setengah abad di tahun mendatang, insyaallah. Ini adalah momen untuk merefleksikan bahwa eksistensi kita tidak diukur dari berapa lama kita hidup, tapi seberapa bermakna hidup itu bagi orang lain.