HARIAN DISWAY - Lima mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi resmi mengajukan uji materi terhadap Pasal 239 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Permohonan tersebut tercatat sebagai Perkara Nomor 199/PUU-XXIII/2025 dan diajukan oleh Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, Muhammad Adnan, dan Tsalis Khoirul Fatna.
Kelima pemohon menilai pasal yang mereka gugat selama ini membuat kewenangan pemberhentian anggota DPR sepenuhnya berada di tangan partai politik melalui Majelis Kehormatan Dewan (MKD).
Menurut mereka, mekanisme tersebut menghalangi rakyat sebagai pemberi mandat untuk ikut menentukan nasib wakilnya ketika performa atau perilaku legislator dianggap tidak lagi mencerminkan aspirasi publik.
BACA JUGA:Pembahasan Revisi UU MD3 Terbengkalai, Begini Kata Baleg DPR RI
BACA JUGA:Catatan Said Abdullah: Dulu Saya Usulkan Revisi UU MD3 Soal Kewenangan Keuangan DPR, Just It!
Dalam persidangan yang berlangsung daring tersebut, Ikhsan menyampaikan bahwa langkah mereka bukan bentuk perlawanan terhadap institusi politik, melainkan dorongan untuk memperbaiki sistem representasi.
“Permohonan a quo yang dimohonkan oleh Para Pemohon tidaklah berangkat dari kebencian terhadap DPR dan partai politik, melainkan sebagai bentuk kepedulian untuk berbenah. Para Pemohon tidak menginginkan ada lagi korban jiwa akibat kebuntuan kontrol terhadap DPR,” ujar Ikhsan yang dilansir dari MKRI, dikutip Jumat, 21 November 2025.
Para pemohon menilai keberadaan Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 telah menciptakan ruang eksklusif bagi partai politik untuk mengatur pemberhentian anggotanya di DPR.
Mereka menilai praktik recall oleh partai selama ini sering dilakukan tanpa alasan transparan dan justru mengabaikan suara konstituen, padahal rakyatlah yang memilih calon legislator pada saat pemilu.
BACA JUGA:DPR RI Klarifikasi Polemik RKUHAP, Bantah Isu Penyadapan dan Pencatutan LSM
BACA JUGA:RKUHAP Disahkan DPR RI Hari Ini, Koalisi Sipil Laporkan Panja ke MKD Jelang Sidang Paripurna
Sebaliknya, ketika publik menuntut pemberhentian anggota DPR karena dugaan pelanggaran etik atau tekanan moral masyarakat, partai politik justru tidak mengambil langkah sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Para pemohon merujuk ke sejumlah contoh politikus seperti Ahmad Sahroni, Nafa Indria Urbach, Surya Utama atau Uya Kuya, Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio), dan Adies Kadir yang pernah didesak untuk diberhentikan, namun ternyata hanya dinonaktifkan.
Lebih jauh, para mahasiswa menilai rakyat kehilangan ruang kontrol setelah pemilu selesai. Mereka menegaskan bahwa pemilih tidak lagi memiliki hak untuk mengoreksi ketika wakilnya tidak lagi menjalankan mandat dengan semestinya.