JAKARTA, HARIAN DISWAY — Menjelang 2026, optimisme terhadap kebangkitan brand-brand lokal Indonesia semakin menguat. Momentum ekonomi yang stabil, hilirisasi komoditas yang terus bergulir, serta percepatan digitalisasi menjadi dorongan utama yang membuka ruang besar bagi merek Tanah Air untuk naik kelas ke pasar global.
Vice President Infovesta Kapital Advisori Wawan Hendrayana melihat sinyal kuat bahwa tahun depan bisa menjadi titik penting menuju kemampuan ekspor yang lebih kompetitif.
Pemerintah menargetkan ekspor non-migas menembus lebih dari USD300 miliar pada 2026. Target ini dinilai realistis bila reputasi brand nasional mampu dijaga dan diperkuat.
Periode Januari–September 2025, ekspor non-migas tercatat mencapai USD195,4 miliar. Tumbuh 6,8 persen secara tahunan berdasarkan data Kementerian Perdagangan.
BACA JUGA:Perdana, Terminal Teluk Lamong Melayani Ekspor Multimoda dari Semarang ke Surabaya
BACA JUGA:Indonesia-Kanada Sepakat ICA-CEPA, Target Ekspor Rp197 Triliun pada 2030
Kinerja ini menjadi indikator bahwa Indonesia memiliki peluang besar untuk memperluas pengaruhnya di pasar internasional. Utamanya dengan hilirisasi industri yang kini berada di jalur percepatan.
Sektor yang diperkirakan menjadi penopang ekspor tahun depan meliputi manufaktur, makanan-minuman, tekstil dan busana, hingga produk berbasis teknologi.
Pasar tradisional seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Tiongkok tetap mendominasi. Namun pertumbuhan dua digit mulai terlihat di kawasan non-tradisional.
Seperti Afrika, Amerika Latin, hingga Timur Tengah. Dorongan dari perjanjian perdagangan bebas (FTA) yang diperluas menjadi salah satu penyebabnya.
BACA JUGA:BPDP dan Unair Ajak UMKM Tingkatkan Nilai Jual Sawit dan Kakao dalam Hilirisasi
Reputasi Jadi Modal Utama
Wawan mengingatkan pertumbuhan ekonomi dan peluang pasar bukan satu-satunya faktor. Di era keterbukaan informasi, reputasi brand menjadi kunci diterima atau tidaknya produk Indonesia di luar negeri.
“Konsumen global jauh lebih selektif. Mereka tidak hanya melihat kualitas atau harga, tetapi juga cerita brand, keberlanjutan, etika produksi, serta kepatuhan terhadap standar ESG,” ujarnya.
Negara-negara pengimpor pun semakin ketat. Perusahaan yang tidak memenuhi standar ESG bisa kehilangan akses pasar dalam waktu singkat.