Di Beijing, pusat Buddhisme Tibet paling berpengaruh itu masih terjaga. Ia adalah tempat wisata. Sekaligus tempat ibadah yang masih aktif. Sangat aktif.
ANGIN kencang menyambar di tengah hari. Membawa gigil sampai ke tulang.
Termometer di ponsel menunjukkan 4 derajat celsius pada 24 November 2025 itu. Tetapi barisan orang terus menapaki pelataran Lama Temple, kompleks Buddhisme Tibet terbesar di Beijing. Tanpa ragu.
Sebagian besar dari mereka adalah wisatawan. Beberapa datang memakai mobil atau bus. Serombongan orang juga keluar cepat dari arah stasiun Yonghegong Lama Temple.
BACA JUGA:Siswa ITCC Raih Beasiswa ke Tiongkok (6): Siap Taklukkan Dunia Siber
Suhu yang menusuk membuat orang lebih sering memasukkan tangan ke saku. Tapi alur langkah tetap teratur.
Di sudut pelataran, empat perempuan muda dengan jubah Manchuria gaya Dinasti Qing berfoto di bawah pohon yang sebagian daunnya rontok karena musim dingin. Kostum itu populer sebagai busana tematik di situs sejarah Beijing.
Kompleks kuil itu berdiri sejak 1694. Mulanya sebagai kediaman pangeran Dinasti Qing. Pada 1744, bangunan itu dialihfungsikan menjadi lamasery atau biara. Ditempatkan di bawah sekte Gelug, arus utama Buddhisme Tibet.
Transformasi itu menjadikan Yonghe Temple, nama resmi Kuil Lama, bukan hanya pusat religius. Ia juga simbol kedekatan politik dan spiritual antara Beijing dan budaya Tibet.
PENGUNJUNG BERSUJUD di depan patung Buddha pada ruang pertama, Aula Harmoni dan Kedamaian. -Doan Widhiandono-
Melewati barisan pohon meranggas karena musim dingin, saya dan para turis itu meneruskan langkah ke arah pintu masuk utama kompleks.
Dari gerbang, jalur utama memanjang ke belakang dengan pola linier khas kuil istana Tiongkok: Menara Lonceng, Menara Genderang, lalu serangkaian aula. Memanjang dari selatan ke utara.
Setiap aula membawa nuansa yang sama. Aroma kayu tua, keheningan doa, para turis yang beringsut, dan warna merah-hijau-emas yang tetap terang meski diterpa musim dingin.
Asap tipis dari batang-batang dupa naik ke angkasa. Sementara sejumlah pengunjung bersujud di halaman sebelum masuk ke deret aula yang menjadi inti ritual. Suhu rendah membuat napas terlihat seperti asap putih kecil. Namun di dalam aula, aroma kayu dan dupa menghangatkan.