MBG: Antara Nutrisi dan Krisis Keamanan Pangan

Jumat 28-11-2025,15:18 WIB
Oleh: Dr. Tedy Hartono*

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) lahir dari niat terpuji: menurunkan stunting, memperbaiki gizi anak, dan menjamin setiap anak mendapat satu porsi makanan bernutrisi saat sekolah. Secara kelembagaan, program ini mendapat landasan kuat Peraturan Presiden No. 83/2024 membentuk Badan Gizi Nasional yang menjadi motor pelaksanaan kebijakan gizi nasional.

Namun ambisi besar memerlukan manajemen besar pula. Tanpa itu, MBG berpotensi berubah dari solusi menjadi sumber bahaya publik. 

Skala program ini luar biasa. Menurut dokumen yang dipublikasikan lembaga internasional, MBG menargetkan puluhan juta penerima, termasuk angka yang diproyeksikan mencapai belasan hingga puluhan juta anak dan kelompok rentan serta ibu ibu hamil dalam beberapa tahun ke depan.

UNICEF mencatat target program sangat ambisius, dengan jutaan anak masuk dalam sasaran MBG sebagai bagian strategi nasional untuk memenuhi kebutuhan gizi. Ambisi skala ini menuntut infrastruktur mutu, pengawasan, dan regulasi teknis yang jauh lebih kuat dibanding program skala kecil biasa. 

Peluncuran MBG tergesa-gesa pada awal 2025 disambut antusiasme politik dan publik. Pemerintah menempatkan program ini sebagai prioritas dan memulai operasional di puluhan provinsi serta ratusan titik dapur awal.

Namun sejumlah laporan awal menunjukkan bahwa persiapan operasional termasuk kapasitas dapur, rantai pasok, standar sanitasi, dan personel terlatih belum seragam di semua lokasi. Laporan pemerintah sendiri dan analisis awal memperlihatkan variasi kesiapan antar-daerah yang signifikan.

BACA JUGA:Usulan MBG Diganti Uang Tunai, Pemerintah Beri Penjelasan Begini

BACA JUGA:Pengaruh Implementasi MBG terhadap Makroekonomi Daerah Sebelum dan Sesudah Program Berjalan

Masalah menjadi nyata ketika insiden keamanan pangan mulai muncul. Red flags pertama adalah laporan keracunan massal di beberapa daerah dimana  ratusan hingga ribuan anak dilaporkan mengalami muntah dan diare setelah mengonsumsi makanan MBG pada periode 2025.

Liputan internasional dan laporan resmi menyebut angka ribuan kasus food poisoning sepanjang tahun, yang memaksa investigasi cepat oleh otoritas kesehatan. Insiden-insiden ini bukan kejadian sepele: mereka mengancam kredibilitas program dan, yang lebih penting, keselamatan anak-anak yang menjadi target utama. 

Satu aspek yang sering diabaikan dalam perdebatan publik adalah biaya per porsi dan implikasinya terhadap mutu. Angka Rp10.000 per porsi yang dikutip pada tahap awal pelaksanaan menempatkan tekanan kuat pada penyedia layanan untuk memenuhi standar gizi dan sanitasi pada biaya yang relatif kecil.

Jika penyelenggara dipaksa menekan biaya tanpa kompensasi pada kualitas misalnya penyimpangan dari standar pengolahan, penggunaan bahan murah yang rawan kontaminasi, atau rantai distribusi yang buruk maka risiko gangguan kesehatan akan meningkat. Kebijakan anggaran harus reflektif terhadap kebutuhan riil operasional, bukan sekadar angka simbolis. 

Dari sisi manajemen operasional, ada beberapa titik kritis yang harus mendapat perhatian segera: pemilihan bahan baku (supply chain traceability), sanitasi dapur, sumber air bersih, standar pengolahan (HACCP-like), pelatihan staf dapur, kebijakan penyimpanan dan distribusi (kontrol suhu), serta mekanisme pencucian dan sanitasi wadah makanan.

Di lapangan terlihat praktik yang jauh dari ideal yaitu dapur yang kekurangan fasilitas pendingin, pekerja tanpa sertifikat hygiene, dan rantai distribusi panjang yang memperbesar peluang kontaminasi. Ketika makanan diproduksi secara massal dan dibagikan setiap hari, celah kecil dalam prosedur bisa berarti puluhan atau ratusan korban dalam satu kejadian. 

BACA JUGA:SPPG Duga Keracunan MBG di SDN Meruya Selatan Bukan karena Puding Cokelat

Kategori :