Tali Jagat NU

Selasa 02-12-2025,06:33 WIB
Reporter : Arif Afandi*
Editor : Yusuf Ridho

Sudah banyak yang tahu bahwa konflik antarelite NU bukanlah fenomena baru. Itu terjadi tidak hanya antarkawan seperti sekarang. Namun, bisa juga antarpaman dan keponakan. Seperti saat terjadi konflik besar antara Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) dan KH Yusuf Hasyim yang juga pamannya.

Juga, konflik antara Ketum KH Idham Chalid dengan para kiai pasca wafatnya rais aam. Yang kemudian selesai melalui Muktamar NU di Situbondo 1984. Yang melahirkan kepemimpinan generasi baru di bawah pimpinan Gus Dur. Dengan tema besar NU kembali ke Khittah 1926.

Guncangan kepemimpinan secara berkala telah terjadi di NU. Sering kali menguat menjelang muktamar, masa transisi kepemimpinan. Atau saat organisasi memasuki fase perubahan struktural yang siginifikan. Karena itu, konflik tersebut harus dipahami bukan sekadar karena rebutan tambang. Melainkan, bagian dari perubahan sosial.

BACA JUGA:PBNU sebagai Peradaban: Sekeras Apa pun Orang NU Bertengkar, Tak Akan Tinggalkan NU

BACA JUGA:Gaya Komunikasi Politik PBNU: Isuk Dele Sore Tempe ala Gus Yahya?

Sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, NU bukan hanya institusi keagamaan, melainkan juga aktor sosial-politik yang memiliki pengaruh besar. Seiring meningkatnya peran NU dalam pembangunan nasional –dari pendidikan, kesehatan, hingga ekonomi– organisasi itu mengalami proses ”modernisasi kelembagaan”. 

Modernisasi itu memaksa NU beradaptasi dengan tuntutan tata kelola yang lebih profesional. Juga, relasi yang lebih kompleks dengan negara dan pasar. Semua itu membutuhkan koordinasi yang makin intensif dalam organisasi yang makin besar. 

Setiap perubahan struktur tentu selalu memunculkan ketegangan. Adaptasi institusi membutuhkan redefinisi peran, reposisi aktor, dan penyesuaian norma. Semua itu membuka ruang kompetisi antarelite.

BACA JUGA:Rais Aam PBNU Tegaskan Pemberhentian Gus Yahya Sudah Final, Muktamar Luar Biasa Segera Digelar

BACA JUGA:Kursi Ketum PBNU Beralih ke Rais Aam, Wasekjen Duga Ada Sabotase Surat Pencopotan Gus Yahya

Apalagi, NU sebagai ormas Islam terbesar harus selalu bersinggungan dengan kekuasaan. Pergeseran kekuasaan nasional mau tak mau akan berpengaruh terhadap internal NU. Konflik muncul ketika kelompok-kelompok dalam satu struktur saling bersaing untuk menguasai ”otoritas”. 

Sampean semua tahu, otoritas di NU itu tidak hanya bersifat organisatoris atau jabatan struktural. Namun, juga simbolis dan kultural. Ia beririsan dengan legitimasi keulamaan. Juga, kedekatan dengan para kiai sepuh, akses terhadap jaringan pesantren, dan hubungan dengan pusat kekuasaan.

Itu memperkuat hipotesis bahwa soal tambang hanyalah pemantik. Eksekusi pengelolaan akses ekonomi itu memicu konflik antara Gus Yahya dan Gus Ipul yang melibatkan rais aam dan bendahara umum. Yang sumber konfliknya inline dengan pergeseran kekuasaan politik dan ekonomi di tingkat nasional.

Ketika NU masuk ke peran ekonomi politik, nilai strategis jabatan dan akses terhadap sumber daya meningkat. Konsekuensinya, kompetisi antarelite pun menjadi mengeras. Jadi, konflik kali ini bukan soal personal. Ini adalah benturan kepentingan dalam memperebutkan ruang pengaruh, kontrol agenda, dan arah perubahan organisasi.

NU sebagai organisasi yang telah berumur lebih seabad, pasti selalu ada ketegangan antara dorongan perubahan dan dorongan bertahan terhadap nilai lama. Istilah Karl Polanyi, dinamika ”double movement” dalam perubahan sosial. NU kini sedang dalam ketegangan antara dua arus besar itu.

Di satu sisi ada arus modernisasi kelembagaan: profesionalisasi organisasi, digitalisasi, keterlibatan dalam ekonomi nasional, serta relasi intensif dengan negara. Di sisi lain, ada arus dorongan mempertahankan otoritas kiai, model kepemimpinan berbasis karisma, dan cara kerja organisasi yang paternalistik berbasis kultur pesantren.

Kategori :