HARIAN DISWAY- Walhi Jawa Barat mengungkapkan adanya potensi bencana banjir bandang disertai longsor di Jawa Barat dengan skala yang setara dengan banjir bandang di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Bahkan, terdapat potensi skala bencana yang lebih parah di Jawa Barat.
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Wahyudin Iwang menjelaskan bahwa Jawa Barat merupakan provinsi dengan tingkat kerentanan yang tinggi. Seperti potensi tsunami, letusan gunung berapi, banjir bandang, longsor, tanah amblas, dan puting beliung. Salah satu pemicunya adalah meningkatnya kerusakan lingkungan.
“Bencana ekologis dapat terjadi dengan kemungkinan yang sama di Jawa Barat. Bahkan alam bisa bereaksi lebih ekstrem untuk mengingatkan kita semua,” kata Wahyudin.
BACA JUGA:Tanah Longsor Landa Kabupaten Subang Dua Kali, Satu Warga Dinyatakan Hilang
Upaya pencegahan, pemulihan, serta perbaikan lingkungan dapat dikatakan nyaris tidak dilakukan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Ia mencontohkan bahwa pada 2023 terdapat 54 izin usaha perusahaan tambang yang statusnya telah habis.
Pemerintah, menurut Wahyudin, tidak pernah mengurus apalagi menertibkan perusahaan-perusahaan yang izinnya telah habis tetapi masih beroperasi.
Kemudian, pada 2024 Walhi mencatat terdapat 176 titik kegiatan tambang ilegal. Salah satu wilayah dengan kategori tertinggi ialah Kabupaten Sumedang sebanyak 48 titik, disusul Kabupaten Tasikmalaya 48 titik, Kabupaten Bandung 37 titik, Bogor 23 titik, Cianjur 20 titik, Purwakarta 12 titik, dan Cirebon 7 titik.
BACA JUGA:Banjir dan Tanah Longsor Sukabumi: 20.629 Warga Terdampak, 3.464 Orang Mengungsi
BACA JUGA:Kemenkes Catat 12 Ribu Kasus Keracunan, Paling Banyak di Jawa Barat
Selain itu, selama kurun 2023–2025, Walhi mencatat bahwa penyusutan tutupan hutan semakin tinggi, yakni mencapai 43 persen dari total kawasan hutan di Jawa Barat.
Salah satu wilayah yang mengalami penyusutan ialah kawasan di bawah pengelolaan Perum Perhutani, baik kawasan lindung maupun kawasan hutan produksi tetap dan terbatas.
Kawasan tersebut disebut telah berubah menjadi area tambang, wisata, properti, KHDPK (Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus), hingga proyek geotermal pemerintah pusat. Kawasan lain yang juga mengalami penyusutan adalah kawasan yang dikelola oleh BBKSDA.
Wahyudin pun menyebut terjadi penurunan status konservasi di kawasan tersebut, salah satunya dipicu oleh proyek strategis nasional dan pembangunan Taman Wisata Alam (TWA).
“Kawasan konservasi terus berkurang. Bahkan terdapat bangunan di dalam area konservasi, dan itu sangat disayangkan,” ujarnya.
BACA JUGA:Prabowo Perintahkan Mobilisasi Besar-Besaran untuk Bantu Korban Banjir dan Longsor Sumatera
BACA JUGA:Ini Alasan Banjir dan Longsor di Sumatera Belum Ditetapkan sebagai Bencana Nasional
Kawasan hutan lain menyusut karena diubah menjadi area properti wisata dan pertanian, sehingga menghilangkan fungsi utamanya. Alih fungsi lahan yang masif di kawasan imbuhan (kawasan dengan daya serap air tinggi), seperti area persawahan.
Luas area imbuhan, imbuhnya, terus menyusut dan berpotensi hilang dalam waktu dekat. Penyusutan masif ini terjadi seiring maraknya izin pembangunan perumahan, industri, dan wisata.
Luasnya bisa mencapai 20 hektare per tahun seiring banyaknya izin mendirikan bangunan (IMB) yang terus dikeluarkan pemerintah.
“Walhi juga menyatakan bahwa ada dugaan keterlibatan pemerintah dalam melegitimasi kerusakan lingkungan. Hal ini terlihat dari banyaknya izin yang diberikan di kawasan yang seharusnya dijaga," bebernya.
Selain itu, tidak ada upaya nyata untuk perbaikan dan pemulihan. Hingga saat ini, lahan kritis seluas 900 ribu hektare belum direboisasi atau direforestasi secara serius oleh pemerintah.
BACA JUGA:Korban Jiwa Bertambah, Banjir dan Longsor Terjang 13 Kabupaten/Kota di Sumatera Utara
BACA JUGA:Banjir dan Tanah Longsor di Gorontalo, BNPB: 28 Korban Meninggal dan 14 Korban Hilang
Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengungkapkan bahwa kerusakan hutan di Jawa Barat mencapai 80 persen.
“Di Jawa Barat, hanya sekitar 20 persen hutan yang masih dalam kondisi alami, sementara 80 persen lainnya dalam keadaan tidak baik,” kata Dedi dalam rilis yang diterima wartawan, Selasa.
Dedi, yang akrab disapa Demul, menyebut bahwa pada Desember 2025 Pemerintah Provinsi Jawa Barat mulai melakukan penanganan kerusakan hutan. Masyarakat Jawa Barat akan dilibatkan dalam pemulihan tersebut.
Nantinya, setiap hektare hutan akan dikelola oleh dua warga yang bertugas menanam dan merawat pohon hingga tumbuh kokoh.
BACA JUGA:Prabowo Perintahkan Mobilisasi Besar-Besaran untuk Bantu Korban Banjir dan Longsor Sumatera
BACA JUGA:Viral Puluhan Warga Terjebak di Hutan Akibat Longsor Tapanuli Tengah, Minta Tolong lewat Video
“Mereka akan menerima bayaran harian yang saya tetapkan sebesar Rp50 ribu. Ini lebih tinggi dibandingkan upah mencangkul di beberapa wilayah yang hanya Rp30 ribu. Mengapa Rp50 ribu? Agar semakin banyak masyarakat yang terlibat,” tuturnya.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga akan menentukan jenis pohon yang ditanam dalam penanganan hutan rusak, mulai dari beringin hingga nangka.
“Kami akan menanam pohon dengan kombinasi antara pohon hutan yang tidak boleh ditebang dan pohon yang dapat memberikan hasil, seperti petai, jengkol, dan nangka, sehingga masyarakat dapat memperoleh manfaat jangka panjang,” ucapnya.
*) Mahasiswa magang dari Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya