JAGAT MAYA kita sedang ramai karena unggahan pada akun resmi media sosial Oxford University yang mengeklaim sekaligus memublikasikan penemuan Rafflesia hasseltii langka di hutan Sumatera sebagai temuan peneliti Oxford.
Meski kemudian unggahan tersebut dikoreksi dan diberi catatan tambahan sebagai ”penemuan tim” yang melibatkan ilmuwan Indonesia, reaksi netizen telanjur tak terbendung: Oxford University disebut sebagai institusi yang melanggengkan kolonialisme gaya baru.
Sekilas, respons netizen dapat dilihat sebagai nada kemarahan dan dianggap sebagai kewajaran berikut balasan yang sepadan atas kekeliruan akademik dalam ranah digital.
BACA JUGA:Nasionalisme di Era Digital Disruptif
BACA JUGA:Dari Pena ke Postingan: Nasionalisme dalam Bayang-Bayang Simulasi
Tanggapan netizen yang cepat, emosional, dan masif mengungkapkan sesuatu yang lebih dalam, yakni kerapuhan fondasi nasionalisme kita serta bayang-bayang kolonialisme dalam cara kita memahami pengetahuan.
Persoalan itu dimulai dari bunga Rafflesia hasseltii, sebuah tanaman langka yang ada jauh nun, di tengah hutan Sumatera setelah 13 tahun ”dinyatakan” hilang. Sebelum spesies tanaman langka tersebut ditemukan, siapa yang peduli?
Membaca reaksi masyarakat Indonesia, sejatinya persoalan itu menyentuh sesuatu yang jauh lebih fundamental. Yakni, siapa yang memiliki hak untuk diakui sebagai produsen pengetahuan tentang Indonesia.
Polemik Rafflesia hasseltii itu membuka kembali ingatan kolektif kita akan pengalaman kolonialisme ketika negara kolonial mencatat, mengumpulkan, mengklasifikasi, dan memublikasikan pengetahuan yang didapat dari negara jajahannya.
Selanjutnya, negara koloni mengklaim diri sebagai pencipta dan penemu yang memiliki otoritas atas pengetahuan yang diambil dari negara jajahan.
Pada aras yang sama, penduduk lokal dengan segala bentuk kehidupannya dilihat sebagai penyedia akses dan narasumber anonim yang tak memiliki andil pada pengetahuan yang diciptakan. Dengan kata lain, masyarakat lokal menjadi objek dari pengetahuan tersebut.
EPISTEMIK KOLONIALISME
Kajian tentang pandangan dikotomis itu sejatinya sudah dikritik dengan sangat tajam oleh para pemikir poskolonial seperti Said, Spivak, dan Cakrabharty. Kolonialisme saat ini tidak hanya menjajah tanah, tetapi juga imajinasi dan pengetahuan.
Meski penjajahan secara fisik telah lama hilang, bentuk lainnya bersalin rupa dalam sains, pendidikan, media, hingga cara kita memahami dunia. Episentrum kritikan itu adalah kecendrungan yang menempatkan bangsa Barat sebagai pihak yang memiliki otoritas.
Mereka adalah entitas yang unggul dan memiliki legitimasi. Sebaliknya, negara jajahan adalah pelengkap bagi narasi yang ciptakan dan seraing kali absen untuk disebutkan. Apa pun yang mereka lakukan selalu menjadi rujukan dan memiliki posisi epistemik yang lebih kuat.