Fatwa MUI soal Pajak Berkeadilan

Rabu 03-12-2025,10:33 WIB
Reporter : Imron Mawardi*
Editor : Yusuf Ridho

Dalam hal ini, MUI sebenarnya relatif moderat terhadap kebijakan pajak. Artinya, pajak masih bisa dibenarkan saat pemerintah benar-benar membutuhkan untuk menutup anggaran negara. Hanya, pengenaannya harus sangat hati-hati. 

Banyak ulama yang justru berpendapat haram mengenakan pajak kepada kaum muslimin. Itu karena kaum muslimin sudah dikenai kewajiban zakat. Mereka, antara lain, yang melarang adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Baghawi, dan Asy-Syaukani. 

Namun, menurut Oemar Chapra, adanya pendapat yang melarang pemerintah memungut pajak disebabkan pemerintah yang memungut pajak pada  saat itu sewenang-wenang. Rakyat hidup dalam kemiskinan, sedangkan di sisi lain para pejabat pemerintah hidup dalam kekayaan yang berlimpah.

Selain Chapra, ulama yang membolehkan pemerintah mengutip pajak adalah Al-Qardhawi, Ibnu Taimiyah, Al-Ghazali, dan An-Nawawi serta banyak ulama lain. Al-Qardhawi, misalnya, menjelaskan bahwa pemerintah boleh memungut pajak dengan syarat tertentu. 

Pemerintah  benar-benar sedang membutuhkan uang dan sumber lain tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut, pembebanan pajak adil, untuk membiayai kepentingan umat, dan dipungut dengan kesepakatan para ahli ekonomi dan ulama.

MERASIONALKAN NISAB PAJAK

Hakikatnya pajak adalah transfer kekayaan dari sektor privat ke sektor publik. Dalam Islam, itu tak ubahnya zakat dalam ajaran Islam. Salah satu syarat pengenaan zakat adalah kekayaan itu telah mencapai nisab, yaitu batasan terendah harta yang dikenai kewajiban zakat. 

Nisab tersebut menjadi batasan bahwa di bawah itu, pendapatan atau simpanan tersebut masih dalam kebutuhannya. Tidak berlebih sehingga tidak dikenai kewajiban untuk orang lain.

Konsep nisab itu sebenarnya juga sudah diterapkan dalam pungutan pajak. Kita menyebutnya sebagai pendapatan tidak kena pajak (PTKP) untuk pajak penghasilan. Hanya, PTKP saat ini kurang merepresentasikan kebutuhan dasar dari setiap wajib pajak. 

Untuk pajak penghasilan pribadi (PPh) pasal 21, misalnya, PTKP orang pribadi ditetapkan sebesar Rp54 juta dan tambahan Rp 4,5 juta untuk istri yang tidak bekerja. PTKP naik sebesar Rp4,5 juta untuk setiap anak yang dimiliki hingga maksimal tiga anak. Jadi, PTKP maksimal dalam sebuah keluarga adalah Rp72 juta, kecuali istri bekerja dan NPWP digabung menjadi Rp126 juta.

Untuk pajak bumi dan bangunan (PBB), ada juga ketetapan nilai jual objek pajak tidak kena pajak (NJOPTKP) yang merepresentasikan nilai yang tidak dikenai pajak. Untuk Surabaya, misalnya, NJOPTKP adalah Rp15 juta saja. Sementara itu, Sidoarjo dan Malang Rp10 juta. Untuk bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), NJOPTKP Surabaya Rp90 juta dan Sidoarjo Rp80 juta.

Melihat data tersebut, tampak bahwa nilai dasar atas rumah atau tanah yang tidak dikenai PBB sangat rendah. Tidak merepresentasikan nilai rumah dan tanah riil sebagai kebutuhan pokok yang seharusnya tidak dikenai pajak. 

Untuk itu, jika memang PBB tetap dikenakan, seharusnya rumah hunian pada luasan tertentu, baik untuk tanah maupun bangunan, tidak dikenai pajak. Misalnya, rumah yang representatif untuk tempat tinggal sebuah keluarga adalah 90 meter persegi dan luas bangunan 45 meter persegi sebagai kebutuhan dasar rumah tinggal. Dengan demikian, pajak dikenakan untuk  kelebihan luasan tanah dan bangunan dari batasan itu. 

Cara seperti itu akan mewujudkan keadilan pajak. Sebab, orang yang memiliki rumah dengan luasan tanah dan bangunan kurang dari luasan terkecil tersebut tidak akan terkena pajak. Sementara itu, orang kaya yang memiliki rumah dengan luasan tanah dan bangunan yang melebihi kebutuhan wajar rumah tinggal akan dikenai PBB. 

Jika lebih ekstrem, fatwa MUI itu bisa diterapkan lebih luas. Misalnya, PBB tidak dikenakan untuk rumah pertama dan dikenakan bagi rumah kedua dan seterusnya berdasarkan NIK atau kartu keluarga. 

Apa pun, fatwa MUI tersebut perlu menjadi pertimbangan pemerintah. Sebab, PBB memang sangat membebani masyarakat. Ketentuan itu juga menyebabkan orang-orang tersingkir dari pusat-pusat ekonomi karena tidak mampu lagi membayar PBB rumah tinggal yang nilainya sudah menjadi sangat mahal karena berkembangnya kawasan. 

Kategori :