PERNAHKAH kita merasa bersalah ketika memesan minuman tanpa membawa tumbler? Ketika kita hanya ingin minum, tetapi tiba-tiba muncul rasa tidak nyaman yang sulit dijelaskan. Seolah-olah satu gelas plastik cukup untuk menurunkan derajat kita sebagai warga bumi yang dianggap kurang peduli lingkungan. Rasa bersalah itu tidak datang dari aturan, tetapi dari tekanan sosial yang kini menyertai gaya hidup hijau.
Fenomena tersebut makin terasa dalam kehidupan sehari-hari. Gerakan ramah lingkungan yang dulu sederhana –ajakan untuk menjaga bumi– kini berubah menjadi standar sosial baru. Di kafe, kantor, hingga media sosial, ada semacam ujian tak tertulis tentang seberapa ”hijau” seseorang.
Membawa tumbler, memakai totebag, atau memilih produk eco-friendly bukan lagi keputusan individual, melainkan simbol moralitas.
SIMBOL HIJAU MENJADI UKURAN MORAL
Tumbler hanyalah permulaan. Kita mulai melihat totebag yang seakan wajib dibawa saat belanja, sedotan stainless yang menjadi aksesori kesadaran, kosmetik berlabel natural dan cruelty-free, hingga produk eco-friendly dan eco-material yang dibeli bukan karena kebutuhan, melainkan karena takut terlihat tidak peduli.
Gaya hidup hijau yang seharusnya bersifat inklusif berubah menjadi indikator sosial, menjadi sebuah alat ukur kepedulian yang membentuk siapa yang dianggap peduli dan siapa yang dianggap abai.
Di sinilah tekanan itu bekerja. Herbert Marcuse menyebut masyarakat modern tenggelam dalam false needs, kebutuhan palsu yang diciptakan industri.
Ketika produk-produk hijau dibingkai sebagai simbol moralitas, kita perlahan terjebak dalam ”masyarakat satu dimensi” yang memaknai kepedulian melalui konsumsi. Kita merasa berbuat baik, padahal sering kali hanya mengikuti standar sosial yang dikonstruksi pasar.
NORMALISASI HIJAU DAN MEKANISME TEKANAN
Tekanan sosial itu tidak berhenti pada konsumsi. Ia menjelma menjadi kontrol halus terhadap perilaku. Membawa tumbler berubah menjadi performa publik, kita memakainya bukan hanya karena fungsi, melainkan juga karena efek sosialnya.
Michel Foucault menjelaskan bagaimana kekuasaan modern bekerja melalui normalisasi, bukan larangan. Ketika narasi ”orang baik adalah orang yang hijau” terus diulang, kepedulian berubah menjadi tuntutan sosial.
Rasa malu ketika lupa membawa tumbler bukan lagi sekadar rasa malu biasa. Itu adalah bentuk self-surveillance, pengawasan diri yang muncul karena standar sosial. Tidak ada polisi lingkungan, tetapi kita merasa dinilai. Gaya hidup hijau yang semula merupakan ajakan kini berubah menjadi tekanan psikososial yang bekerja diam-diam.
BEBAN HIJAU YANG DISODORKAN OLEH SISTEM
Tekanan itu menjadi jauh lebih kompleks ketika berbagai sistem sosial ikut memperkuatnya. Dalam pandangan Niklas Luhmann, setiap sistem dalam masyarakat bekerja dengan logikanya sendiri, dan logika-logika itulah yang akhirnya membentuk lanskap tekanan sosial di balik gaya hidup hijau.
Sistem ekonomi, misalnya, melihat isu lingkungan bukan pertama-tama sebagai upaya penyelamatan bumi, melainkan sebagai peluang pasar yang menjanjikan. Produk hijau, kemasan berlabel sustainable, atau program loyalitas berbasis eco-friendly menjadi strategi bisnis yang menguntungkan.