Alasan di Balik Lavender Marriage: Antara Tekanan Sosial dan Privasi

Alasan di Balik Lavender Marriage: Antara Tekanan Sosial dan Privasi

Alasan di balik lavender marriage, mulai dari tekanan keluarga dan sosial--

HARIAN DISWAY - Di berbagai belahan dunia, tekanan untuk menikah masih menjadi realita yang dialami banyak individu. Dalam masyarakat yang memegang kuat nilai-nilai tradisional, menikah seringkali dianggap sebagai kewajiban sosial, bukan semata pilihan personal. 

Harapan keluarga, pandangan lingkungan, hingga citra di tempat kerja bisa membuat seseorang merasa perlu menjalin hubungan sesuai dengan norma yang berlaku, meski hal itu tidak sepenuhnya mencerminkan jati dirinya.

Dalam situasi seperti ini, tak sedikit orang akhirnya memilih untuk menjalani pernikahan yang “terlihat tepat” di mata orang lain, meskipun tidak sepenuhnya lahir dari keinginan pribadi.

Bagi mereka, itu adalah cara paling aman untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan pribadi dan ekspektasi yang datang dari luar.

Beberapa menjalaninya demi mempertahankan reputasi, ada pula yang ingin meredakan tekanan dari keluarga atau lingkungan sekitar. 


Lavender marriage sebagai jalan keluar dari tekanan keluarga dan sosial--

Di sisi lain, keputusan ini juga kerap diambil sebagai bentuk perlindungan diri—menghindari gosip, pertanyaan yang mengusik, atau bahkan penolakan sosial.

Pola pernikahan seperti ini memiliki sebutan tersendiri. Dalam konteks sosial yang lebih luas, fenomena ini dikenal dengan istilah lavender marriage.

BACA JUGA: Seluk Beluk Lavender Marriage, Sembunyi di Balik Orientasi Seksual

Fenomena lavender marriage tidak muncul begitu saja. Ada berbagai alasan yang mendorong seseorang untuk memilih jalan ini, dan sebagian besar berkaitan erat dengan tekanan dari luar. 

Tekanan keluarga menjadi salah satu faktor utama. Dalam banyak budaya, terutama yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional, pernikahan heteroseksual dianggap sebagai standar hidup yang “normal” dan harus dipenuhi. 

Anak yang belum menikah di usia tertentu sering kali menjadi bahan pembicaraan, bahkan dianggap belum berhasil dalam hidup. 

Selain itu, harapan masyarakat yang masih menilai orientasi seksual non-heteronormatif sebagai sesuatu yang menyimpang membuat banyak individu merasa harus “menyesuaikan diri” agar diterima.

BACA JUGA: Undang-undang Pernikahan Sesama Jenis Disahkan, Lebih dari 100 Pasangan Menikah Massal di Thailand

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: