Ketika Jejak Kebaikan Menjadi Perisai, Sebuah Refleksi atas Rehabilitasi Ira Puspadewi

Senin 08-12-2025,22:41 WIB
Oleh: Yayan Sakti Suryandaru*

BACA JUGA:Prabowo Rehabilitasi Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Cs

Dalam kasus Ira, ”sihir” itu bekerja secara organik. Yang terjadi bukanlah fabrikasi pencitraan, melainkan letupan testimoni kejujuran yang membanjiri ruang publik. 

Media sosial bertransformasi menjadi pressure group (kelompok penekan) yang efektif. Tidak untuk mengintervensi hukum, tetapi untuk memastikan hukum berjalan lurus dan tidak ”masuk angin”.

Biasanya, pejabat yang terjerat isu korupsi akan langsung divonis bersalah oleh opini publik, sebuah fenomena yang dikenal sebagai trial by press

Catatan Angela Audreana Artha Safira Saragih dari FKPH Universitas Brawijaya berjudul No Viral No Justice: Antara Keadilan, Sensasi, dan Etika Hukum di Era Media Sosial menyoroti bahaya fenomena yang acap kali mengabaikan asas praduga tak bersalah demi sensasi.

Namun, narasi Ira menjebol pola tersebut. Dukungan publik yang masif justru menjadi narasi tandingan. Artikel opini Dahlan Iskan yang membedah kesuksesan Ira di Sarinah dan PT Pos serta surat terbuka sang suami, Zaim Uchrowi, berfungsi memecah echo chamber (ruang gema) negatif yang biasanya menyelimuti berita korupsi. 

Fenomena itu relevan dengan temuan riset Suhendra & Pratiwi (2024) yang berjudul Peran Komunikasi Digital dalam Pembentukan Opini Publik: Studi Kasus Media Sosial yang mencatat bahwa di era digital, opini publik terbentuk dari interaksi kompleks itu. 

Ketika ribuan akun memvalidasi ”dia orang baik” berdasar pengalaman nyata, narasi negatif hukum menjadi kehilangan legitimasinya di mata publik.

NO VIRAL NO JUSTICE ATAU NO GOODNESS NO JUSTICE?

Banyak pihak yang mengkritik fenomena no viral no justice karena dianggap mereduksi hukum menjadi sekadar viralitas. Namun, Komisi Yudisial (KY) memiliki pandangan yang lebih konstruktif: fenomena itu adalah kritik keras bagi penegakan hukum agar tidak ”tebang pilih”. 

Artikel Fenomena ”No Viral No Justice” sebagai Kritik Penegakan Hukum yang dapat diakses dalam tautan https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/15710/fenomena-no-viral-no-justice-sebagai-kritik-penegakan-hukum, guru besar hukum Hibnu Nugroho bahkan menyebut viralitas sebagai bentuk pengawasan ketat masyarakat terhadap proses peradilan, mulai pra-ajudikasi hingga pasca-ajudikasi.

Dalam konteks Ira Puspadewi, dukungan viral dari mantan bawahan, rekan kerja, hingga sahabat bukanlah upaya mencari sensasi (seperti yang dikhawatirkan dalam beberapa kajian hukum), melainkan upaya menegakkan substantive justice (keadilan substantif). 

Publik seolah ingin berkata kepada penegak hukum, ”periksa kembali alat buktimu karena rekam jejak orang ini berkata lain.”

Gerakan dukungan itu secara tidak langsung mendorong hakim praperadilan untuk lebih teliti dan objektif. Itu membuktikan hipotesis bahwa atensi publik yang besar dapat meminimalkan potensi penyalahgunaan wewenang dalam penetapan tersangka.

Rehabilitasi Ira Puspadewi lahir dari prinsip bahwa keadilan tidak bekerja di ruang hampa. Ia dipengaruhi dialektika antara fakta hukum dan rasa keadilan masyarakat. Kasus itu mengajari kita bahwa integritas adalah investasi sosial yang paling berharga.

Ketika sistem formal mungkin khilaf atau keliru, semesta digital –melalui tangan-tangan netizen yang jujur– akan bergerak menjadi penyeimbang. Indonesia butuh orang baik dan orang baik butuh kita semua untuk bersuara menjaganya. Selamat kembali berkarya, Bu Ira! (*)

Kategori :