Pada perspektif logika ekstraktif, cara berpikir dan tindakan yang memperlakukan alam sebagai ”komoditas” yang bisa dieksploitasi dan diubah menjadi produk komersial demi meraih keuntungan maksimal secepat mungkin tanpa memperhitungkan dampak keberlanjutan ekologis maupun sosial jangka panjang.
Pada gilirannya, timbul inefisiensi ekonomi yang bisa mengurangi permintaan agregat karena pendapatan terkonsentrasi pada kelompok kaya yang cenderung hanya menyimpan, bukan membelanjakan.
RENT-SEEKING MEMPERLEBAR KETIMPANGAN
Penjelasan teori pertumbuhan endogen memiliki paradigma berbeda untuk bisa menjelaskan implikasi lain dari sebuah pembangunan ekonomi. Teori itu memprioritaskan inovasi dan investasi teknologi sebagai motor utama pembangunan (Romer, 1990). Dan, mengabaikan implikasi negatif inovasi dan investasi yang cenderung menempatkan bencana alam sebagai ”residu pembangunan”.
Sementara itu, menurut pandangan teori pembangunan institusional, munculnya ekses negatif pembangunan menunjukkan lemahnya kualitas institusi yang justru lebih sibuk ”memungut rente” ketimbang mendorong penciptaan nilai tambah (Acemoglu dan Robinson, 2012).
Pandangan Ocemoglu dan Robinson selaras dengan pendapat Stiglitz yang menyatakan bahwa rent-seeking memiliki korelasi kuat dengan penguasaan proses politik (political capture) dan penguasaan regulator (regulatory capture) oleh kekuatan kelompok elite politik maupun ekonomi.
Kelompok elite yang memiliki privilese bisa memengaruhi pihak regulator untuk mengakali aturan perpajakan, menciptakan celah hukum, ataupun menghambat kompetisi dengan membangun kartel bisnis.
Ironisnya, kondisi itu berpotensi menciptakan struktur ekonomi inefisien yang mempertahankan ketimpangan yang berlangsung awet dari generasi ke generasi.
Bagaimanapun, Stiglitz tetap menolak pandangan bahwa pasar secara otomatis menciptakan persaingan efisien. Menurutnya, pasar sering kali terdistorsi oleh kekuatan monopolistik, sektor keuangan yang spekulatif, dan institusi yang tidak kompetitif.
Distorsi itu bukan akibat kegagalan pasar murni, melainkan akibat dari intervensi dan manipulasi kepentingan elite ekonomi (oligarki). Ketimpangan ekonomi memperkuat ketimpangan politik.
Elite ekonomi menggunakan pengaruhnya untuk merancang regulasi maupun dalam proses pengambilan kebijakan politik agar tetap menguntungkan kelompok mereka.
Akibatnya, institusi demokratis menyimpang dari prinsip representasi dan menciptakan lingkaran umpan balik: kekayaan membawa kekuasaan politik, kekuasaan politik memperbesar kekayaan.
Stiglitz menunjukkan bahwa sebagian besar akumulasi kekayaan oleh kelompok kaya bukan berasal dari inovasi produktif, melainkan dari kontrol terhadap regulasi dan struktur pasar.
Contohnya, sektor keuangan mendapat bailout, sedangkan keuntungan privatisasi dinikmati pemilik modal, perusahaan besar memperoleh perlindungan tarif dan regulasi anti persaingan, monopoli teknologi menggunakan hak paten untuk mempertahankan harga tinggi.
Dalam kasus ini, kekayaan tumbuh bukan hasil dari produktivitas, melainkan dari penyedotan nilai ekonomis melalui sistem.
Stiglitz menawarkan sejumlah solusi untuk mengatasi ketimpangan. Di antaranya, kebijakan pajak progresif, investasi dalam pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia, reformasi sektor keuangan, penguatan hak buruh, dan perluasan jaring pangaman sosial (social safety nets).