Namun, perasaan saya itu tentu tidak ada artinya, bukan alat bukti. Pengadilanlah yang akan membuktikan kebenarannya dan menjatuhkan vonis. Bila Nadiem benar terbukti melakukan kejahatan, sungguh saya terpukul.
Keluarga Kak Nono yang begitu lama menjadi role model keluarga saya ternyata tidak becus mendidik anak. Tidak bisa dihindari, pengadilan Nadiem ini akan menjadi sorotan mata nasional, internasional, dan catatan sejarah negeri ini.
Saat dunia sudah begitu terbuka seperti ini, pengadilan sungguh bukan merupakan kotak hitam yang tertutup lagi. Terang dan semua orang bisa membaca. Bahwa Nadiem bisa salah dan pendakwa pun bisa salah.
Yang jelas, tidak bisa negeri ini dibangun di atas fondasi hukum yang rapuh. Bila itu terjadi, kehancuran negeri ini tinggal menunggu waktu.
Saat akan ke Melbourne 6 Desember 2025, saya sempatkan mampir Jakarta, ketemu Kak Tika. Saya lega senyum wanita tegar itu tidak pernah berkurang. Kak Nono dengan segala keterbatasannya tetap berusaha berdialog.
Terasa benar keluarga itu tetap rasional dan percaya benar kepada kebenaran hukum. Saat pulang, saya melihat Mumu, anak Nadiem terkecil berusia 1 tahun, yang terus tersenyum.
Apakah anak manis dan tak berdosa itu harus ikut menanggung keruwetan dunia yang dia tidak mengerti. Tiba-tiba air mata saya menetes. Saya teringat pesan Sain’t Mathew satu abad sebelum Masehi, justice is the province of God, pasti ada balas di alam sana.... (*)
*) Ario Djatmiko adalah pengamat masalah sosial, tinggal di Surabaya.