Kasus yang sering terjadi adalah pasien berhenti minum antibiotik saat merasa sudah sembuh, padahal bakterinya belum benar-benar hilang. Sisa bakteri inilah yang kemudian menjadi lebih kuat dan kebal.
Tantangan lain datang dari peredaran obat palsu yang hingga kini masih mengancam masyarakat. Kita tentu masih mengingat kasus obat sirup yang terkontaminasi zat berbahaya dan menyebabkan gagal ginjal pada anak-anak.
Itu adalah bukti nyata bahwa obat bukan sekadar produk komersial, tetapi benda yang bila salah sedikit saja dapat merenggut nyawa.
Selain itu, profesi farmasi kini memasuki era digital. Telepharmacy memungkinkan konsultasi obat dilakukan tanpa harus bertatap muka, sementara rekam medis elektronik dan kecerdasan buatan mulai membantu apoteker dalam menganalisis terapi pasien.
Teknologi bukan saingan apoteker, tetapi alat bantu yang harus dikendalikan oleh apoteker agar manfaatnya maksimal bagi keselamatan pasien yang nyata.
Di tengah tantangan tersebut, saya justru merasa optimis. Konsep precision medicine membuka peluang bagi pengobatan yang disesuaikan dengan profil genetik dan kondisi unik setiap pasien.
Terapi berbasis bioteknologi seperti vaksin mRNA telah membuktikan kekuatan inovasi farmasi dalam menyelamatkan jutaan orang pada masa pandemi. Bahkan kini berkembang konsep green pharmacy yang berupaya mengurangi pencemaran lingkungan akibat limbah obat.
Semua perkembangan ini menunjukkan bahwa profesi farmasi adalah profesi masa depan. Apoteker harus semakin percaya diri tampil ke depan, bukan hanya sebagai penyedia obat, tetapi sebagai pelindung keselamatan pasien, pengendali teknologi kesehatan, dan motor inovasi ilmiah. Saatnya dunia melihat bahwa farmasis adalah garda terdepan kesehatan masyarakat. (*)
*) Neyla Winona Gadiza adalah mahasiswa S-1 farmasi yang memiliki minat pada farmasi klinis, inovasi formulasi obat, dan edukasi penggunaan obat yang aman.