Firaun Lu… Gaya Bertutur Purbaya yang ’Menabrak Batas’

Rabu 17-12-2025,10:33 WIB
Oleh: Ema Faiza*

DALAM tradisi komunikasi publik kaum pemerintah di Indonesia, bahasa yang digunakan oleh menteri sebagai anggota kabinet sering kali sangat terukur: formal, teknokratis, dan penuh kehati-hatian. 

Tak terkecuali gaya bertutur seorang menteri keuangan yang tugas pokok dan fungsinya adalah untuk menjaga stabilitas ekonomi dan politik sehingga diksi, intonasi, dan jeda bicara sering kali dipilih dengan hati-hati bukan sekadar mempertahankan kesantunan berbahasa. 

Ketika tradisi tersebut dikaitkan dengan fenomena gaya bertutur seorang Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan RI yang lugas, spontan, dan sering kali informal, yang timbul adalah reaksi public dan structural yang cukup hangat dibahas media. 

BACA JUGA:Menkeu Purbaya Bicara Korupsi Pajak dan Bea Cukai: Mereka (Koruptor) Dilindungi

BACA JUGA:Gaya Purbaya Yudhi Sadewa

Sejak dilantik bulan September 2025, Purbaya dikenal karena sering berbicara "apa adanya". Di tempat umum, ia tidak segan menggunakan bahasa percakapan sehari-hari, metafora yang kuat, dan bahkan humor spontan. 

Media dan warganet menjuluki gaya ini sebagai "gaya koboi", sebuah istilah yang mengacu pada kesan yang bebas, langsung, dan tidak terlalu terstruktur. Gaya komunikasi ini jelas menyimpang dari standar komunikasi menteri kabinet, yang selama ini mengutamakan ragam formal dan tingkat tutur yang tinggi.

Menarik untuk disimak adalah reaksi terhadap gaya berbicara ini yang berbeda. Di satu sisi, banyak orang memuji Purbaya karena dia terbuka. Sebagian orang percaya bahwa menggunakan bahasa yang lugas membuat kebijakan fiskal yang rumit lebih mudah dipahami. 

BACA JUGA:Menkeu Purbaya Siapkan Rp 60 Triliun untuk Penanganan Bencana Sumatra

BACA JUGA:Kata Purbaya soal Pembekuan Bea Cukai, 16 Ribu Pegawai Terancam Dirumahkan

Dalam era komunikasi digital saat publik semakin enggan menggunakan jargon teknokratis, gaya ini tampak lebih sederhana dan lebih humanis. Sebagai aktor publik yang "nyambung" dengan audiens, menteri tidak lagi berperan sebagai tokoh rendahan.

Konsep "panggung" yang dikemukakan oleh Erving Goffman membantu kita memahami dinamika ini. Aktor dan pejabat publik berada di "depan panggung" dengan peran yang diharapkan audiens. Sepertinya gaya bertutur Purbaya membawa sebagian dari "back stage" –bahasa internal, spontanitas pribadi– ke ruang depan. 

Otoritas dapat terasa lebih asli jika audiens menerimanya; jika tidak, kesan profesionalisme dapat hilang. Banyak komentar publik menunjukkan bahwa orang-orang di Indonesia belum sepenuhnya setuju dengan "pertunjukan" ideal seorang menteri.

BACA JUGA:Purbaya Sebut Skema Pembayaran Utang Whoosh Antara Pemerintah dan Danantara Belum Final

BACA JUGA:Menkeu Purbaya Hidupkan Lagi Wacana Redenominasi Rupiah, Rp1.000 Jadi Rp1 Tanpa Ubah Nilai

Kategori :