Polisi akhirnya meminta psikiater James Brussel, asisten komisaris kesehatan mental Negara Bagian New York, untuk mempelajari foto-foto TKP dan catatan yang sengaja ditinggalkan pelaku pengeboman.
Brussel kemudian menyusun deskripsi terperinci tentang tersangka: Ia laki-laki belum menikah. Warga negara asing. Otodidak (bidang bahan peledak). Berusia 50-an. Tinggal di Connecticut, AS. Ia paranoid. Ia dendam terhadap perusahaan listrik Con Edison di Jalan Ke-67 New York (bom pertama meledak di sana).
Polisi kaget atas prediksi Brussel. Bagaimana bisa begitu terperinci?
Meski beberapa prediksi Brussel hanyalah akal sehat, yang lain didasarkan pada gagasan psikologis.
Misalnya, ia mengatakan bahwa karena paranoia cenderung mencapai puncaknya sekitar usia 35 tahun, pelaku bom, 16 tahun setelah bom pertamanya, sekarang akan berusia 50-an.
Profil tersebut terbukti tepat. Hal itu mengarahkan polisi langsung ke Metesky, yang ditangkap pada Januari 1957 dan langsung mengaku.
Pada dekade-dekade berikutnya, polisi di New York dan tempat lain terus berkonsultasi dengan psikolog dan psikiater sebelum menangkap penjahat. Psikolog dan psikiater memprediksi profil pelaku kejahatan yang sangat sulit ditangkap.
Waktu itu (tahun 1950-an) di AS profiling penjahat menjadi tren baru dalam penyelidikan perkara kriminal. Sebagai ilmu pengetahuan, itu masih merupakan bidang yang relatif baru dengan sedikit batasan atau definisi yang jelas. Para praktisinya tidak selalu sepakat tentang metodologi atau bahkan terminologi.
Istilah ”pembuatan profil” telah populer di kalangan masyarakat umum, sebagian besar karena film-film seperti The Silence of the Lambs dan acara TV seperti Profiler.
Namun, FBI menyebut bentuk pembuatan profilnya sebagai ”analisis investigasi kriminal”. Seorang psikolog forensik terkemuka menyebut pekerjaannya sebagai ”psikologi investigasi”. Yang lain menyebutnya sebagai ”pembuatan profil tindakan kriminal”. Belum ada penyeragaman.
Terlepas dari perbedaan nama, semua taktik itu memiliki tujuan yang sama: membantu penyelidik memeriksa bukti dari TKP dan laporan korban serta saksi, untuk mengembangkan deskripsi pelaku.
Deskripsi tersebut dapat mencakup variabel psikologis seperti ciri kepribadian, psikopatologi, dan pola perilaku serta variabel demografis seperti usia, ras, atau lokasi geografis.
Penyelidik menggunakan pembuatan profil untuk mempersempit jumlah tersangka. Atau, mencari cara untuk menginterogasi tersangka yang sudah berada dalam tahanan.
Psikolog Harvey Schlossberg, mantan direktur layanan psikologis untuk Departemen Kepolisian New York, mengatakan, ”dalam beberapa hal, pembuatan profil sebenarnya masih lebih banyak merupakan seni daripada sains.”
Kemudian, hal itu terus berkembang di sana. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak psikolog bersama kriminolog dan petugas penegak hukum mulai menggunakan metode statistik dan penelitian psikologi untuk membawa lebih banyak sains ke dalam seni tersebut.
Di Indonesia, tanpa banyak publikasi, polisi juga melakukan profiling kriminal dengan melibatkan dokter forensik. Dari situ banyak pelaku kejahatan yang merekayasa kejahatannya bisa diungkap dengan cepat. (*)