BACA JUGA:Walhi: Jawa Barat Terancam Banjir Bandang dan Longsor dengan Skala seperti Sumatra
Izin lahan tetap dikeluarkan, proyek tetap berjalan, dan tata ruang kerap dinegosiasikan. Ketika bencana akhirnya terjadi, narasi yang muncul hampir selalu sama: ini adalah “bencana alam”.
Padahal, ini adalah bencana yang dapat diprediksi. Bahkan, dalam banyak kasus, bencana yang dibiarkan terjadi.
NEGARA, REGULASI, DAN KEGAGALAN IMPLEMENTASI
Indonesia bukan negara yang kekurangan aturan. Selain UU Nomor 24 Tahun 2007, terdapat Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana. Indonesia juga aktif dalam berbagai rezim global.
Misalnya, Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015–2030 dan komitmen mitigasi iklim dalam Paris Agreement. Di atas kertas, kerangka kebijakan penanggulangan bencana Indonesia terlihat lengkap.
Masalahnya terletak pada implementasi. Risiko bencana belum benar-benar menjadi dasar dalam perencanaan pembangunan. Mitigasi masih diperlakukan sebagai urusan teknis, bukan sebagai isu strategis nasional.
Penataan ruang sering kali longgar dalam pengawasan. Rehabilitasi lingkungan berjalan lambat, sedangkan eksploitasi lahan terus dipercepat. Akibatnya, pembangunan berlangsung di atas wilayah rawan, sementara negara baru bergerak setelah bencana terjadi.
Pola itu berulang dari tahun ke tahun. Respons negara lebih bersifat reaktif, bukan antisipatif. Setiap bencana ditangani sebagai peristiwa terpisah, bukan sebagai gejala dari kegagalan sistemis.
Akibatnya, kebijakan yang lahir sering bersifat tambal sulam, berorientasi jangka pendek, dan gagal menyentuh akar persoalan struktural yang justru terus direproduksi oleh arah pembangunan itu sendiri.
PELAJARAN YANG DIABAIKAN
Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa bencana dapat dikelola dan dampaknya bisa ditekan. Jepang membangun sistem peringatan dini berlapis, memastikan edukasi publik berjalan konsisten, dan menanamkan budaya kesiapsiagaan sejak dini.
Korea Selatan menerapkan pengelolaan daerah aliran sungai secara terintegrasi dengan pemantauan digital 24 jam.
Belanda bahkan memilih pendekatan yang berlawanan dengan logika lama: memberikan ruang kembali kepada sungai melalui program Room for the River, bukan sekadar menahan air dengan beton.
Pendekatan negara-negara tersebut memiliki satu kesamaan: risiko bencana dijadikan variabel utama dalam pembangunan. Alam tidak dilawan, tetapi dikelola. Bencana tidak diperlakukan sebagai kejadian insidental, tetapi sebagai konsekuensi yang harus diantisipasi. Bandingkan dengan kondisi di Sumatera.
Tata ruang sering kali diabaikan. Peta risiko tidak menjadi rujukan utama dalam perizinan. Ketika bencana datang, barulah semua pihak bergerak, sering kali dalam kondisi terlambat.