Banjir Bandang Sumatera, Alarm yang Terus Diabaikan

Selasa 23-12-2025,06:33 WIB
Oleh: Firsty Chintya Laksmi Perbawani*

Selain itu, Bangladesh memberikan contoh penting dalam pengelolaan risiko banjir dan siklon. 

Meski kerap dilanda bencana hidrometeorologi, negara itu berhasil menurunkan angka korban jiwa secara signifikan melalui pembangunan ribuan cyclone shelters, sistem peringatan dini berbasis komunitas, serta jalur evakuasi yang jelas hingga tingkat desa. 

Pendekatan itu menunjukkan bahwa keterbatasan sumber daya bukan alasan untuk abai. Yang dibutuhkan adalah prioritas kebijakan dan konsistensi pelaksanaan.

ALARM BAGI ARAH PEMBANGUNAN NASIONAL

Banjir bandang Sumatera seharusnya menjadi alarm keras bagi Indonesia. Bukan hanya alarm bagi daerah terdampak, melainkan juga bagi arah pembangunan nasional secara keseluruhan. 

Negara perlu mengubah pendekatan dari sekadar penanganan darurat menjadi tata kelola berbasis risiko. Risk-informed governance harus menjadi prinsip utama dalam setiap kebijakan, perencanaan, dan keputusan pembangunan.

Penataan ruang harus ditegakkan secara konsisten. Izin lahan di wilayah rawan bencana harus dihentikan, bukan dinegosiasikan. Restorasi hutan dan kawasan resapan air harus dijalankan secara serius dan berkelanjutan. 

Sistem peringatan dini serta mekanisme evakuasi harus menjangkau hingga tingkat desa. Yang tak kalah penting, anggaran mitigasi harus diperbesar dan diposisikan sebagai investasi jangka panjang, bukan beban anggaran.

Selama risiko terus diremehkan, bencana akan terus berulang dengan pola yang sama: korban berjatuhan, negara sibuk menjelaskan prosedur, lalu perhatian publik perlahan menghilang hingga tragedi berikutnya datang. Banjir dan longsor di Sumatera bukan lagi sekadar peristiwa alam. 

Ia adalah peringatan bahwa cara kita membangun telah salah arah. Mengabaikan alarm itu berarti menerima kenyataan bahwa korban berikutnya hanyalah soal waktu. 

Semoga penanganan bencana di Indonesia makin baik seiring dengan berjalannya waktu dan pengalaman sehingga tidak lagi kita ”kaget” akan keadaan yang telah terjadi. (*)

*) Firsty Chintya Laksmi Perbawani adalah dosen hubungan internasional, FISIP, UPN ”Veteran” Jawa Timur, dan mahasiswa S-3 ilmu sosial, FISIP, Unair. 

Kategori :