Diskusi Aktor Sekumpul tentang Peran Pelakon dalam Waralaba Film: Pekerja Proyek atau Roh Cerita?

Selasa 23-12-2025,12:31 WIB
Reporter : Nyang Tanka*
Editor : Indria Pramuhapsari

HARIAN DISWAY - Film diproduksi, aktor bekerja, honor dibayar, lalu selesai. Kalaupun ada produksi lanjutan, belum tentu aktor yang sama dipanggil kembali. 

Pola ini berulang, berjalan bertahun-tahun, dan diterima sebagai sesuatu yang wajar. Padahal di situlah persoalan paling mendasar dalam industri film Indonesia bermula. Aktor kerap diposisikan bukan sebagai pusat nilai, melainkan sebagai pelengkap. 

Aktor hadir untuk memperindah etalase, menambah daya tarik, meningkatkan kemungkinan laku, tetapi tidak pernah benar-benar dianggap sebagai komponen utama. Posisi aktor dalam sistem seperti itu tak ubahnya topping pada martabak. 

Martabak polos tetap martabak. Ketika ditambah cokelat, keju, atau kacang, harganya naik. Namun, topping tidak pernah dianggap sebagai inti produk. Ia bisa diganti, dikurangi, bahkan dihilangkan tanpa mengubah identitas utama dagangan. 

BACA JUGA:Ulasan Film Judheg (Worn Out) dalam Rangkaian JAFF 2025: Kebodohan, Kemiskinan, dan Cinta Monyet

BACA JUGA:Ulasan Film Pangku Karya Reza Rahadian: Memangku Hidup yang Tak Boleh Membeku
 
Cara pandang seperti itulah yang secara tidak sadar diterapkan dalam industri film tanah air. Aktor menjadi unsur penambah nilai jual, bukan pemilik nilai itu sendiri. Ia tidak perlu tahu siapa pembeli filmnya, berapa nilai ekonomi yang dihasilkan, atau bagaimana film itu bekerja di pasar. 

Yang dituntut darinya hanya satu: tetap terlihat segar, menarik, dan siap dipakai kapan saja. Sistem ini tidak memberi ruang bagi aktor untuk memahami posisinya secara utuh, apalagi membangun keberlanjutan hidup di dalam industri. 
 
Selama ini, ketika berbicara tentang waralaba film, bayangan yang muncul hampir selalu sesuatu yang besar, mahal, dan jauh dari realitas Indonesia. Waralaba dianggap identik dengan superhero, IP raksasa, atau studio besar dengan modal tak terbatas. 

Padahal jika ditarik ke makna paling dasar, waralaba bukan soal kemewahan produksi. Waralaba adalah tentang sesuatu yang memiliki nilai pakai berulang, bisa dikembangkan, dan tidak berhenti pada satu proyek. 


NYANG TANKA, sutradara sekaligus penulis naskah, memimpin diskusi Waralaba Film dalam pertemuan ke-4 Aktor Sekumpul tahun ini.--Whani Darmawan untuk Harian Disway

BACA JUGA:Perjalanan Film Pendek 'What the Water Keeps', dari Surabaya Menuju Festival Internasional

BACA JUGA:Kota Seribu Gua dan Festival Film Horor (FFH) 2025: Ke Pentas Nasional lewat Jalur Mistis
 
Masalahnya, dalam sistem film Indonesia, yang dianggap punya nilai berulang hampir selalu hanya cerita dan IP. Aktor jarang--bahkan hampir tidak pernah--diposisikan sebagai bagian dari nilai yang berkelanjutan itu. Mereka diperlakukan sebagai biaya produksi: datang, bekerja, dibayar, lalu selesai. 

Selama logika ini dipertahankan, posisi tawar aktor akan selalu lemah. Mereka akan selalu mudah diganti, berapa pun usianya, sekuat apa pun rekam jejaknya. 

Dalam konteks waralaba, aktor seharusnya terlibat dalam keberlanjutan karakter dan cerita yang ia mainkan. Ia menjadi bagian dari arah karakter, alasan keberadaannya, dan kemungkinan hidupnya kembali dalam bentuk lain. Sekuel, serial, atau medium berbeda. 
 
Di titik ini, aktor tidak lagi berdiri di luar sistem waralaba, tetapi berada di dalamnya. Bukan sebagai pemilik tunggal, melainkan sebagai bagian yang tak terpisahkan. Sayangnya, sistem yang ada hari ini hampir tidak pernah memberi ruang ke arah sana. Satu produksi selesai, lalu semua pihak kembali ke titik nol, mencari proyek berikutnya. 

BACA JUGA:Pengalaman Whani Darmawan menjadi Juri Akhir FFI 2025 Puspawarna Sinema Indonesia: Mengalami, Mengamati, Mengkritisi

BACA JUGA:Pengalaman Nungki Kusumastuti menjadi Juri Akhir FFI 2025 Puspawarna Sinema Indonesia: Rawat Kesempatan dengan Konsistensi
 
Akibat lebih jauh dari sistem proyek ini adalah krisis usia. Aktor muda terus diproduksi, sementara aktor senior pelan-pelan tersingkir. Bukan karena mereka kehilangan kemampuan, melainkan karena industri tidak pernah belajar merawat waktu. 

Film kita terbiasa menjual "yang sedang naik", "yang sedang laku minggu ini". Ketika usia bertambah, industri panik. Takut poster tidak laku. Takut investor ragu. Takut penonton kabur. Padahal yang seharusnya ditakuti bukan aktor yang menua, melainkan ketiadaan sistem yang mampu mengubah usia menjadi nilai naratif.  
 
Di industri yang lebih matang, usia justru menjadi aset. Pengalaman, sejarah, dan kedalaman dijadikan daya jual, sesuatu yang tidak bisa dibeli atau dipalsukan. Di sinilah konsep waralaba menjadi relevan, bukan sebagai strategi bisnis semata, tetapi sebagai strategi kemanusiaan. 

Waralaba, dalam pengertian yang paling jujur, memberi ruang bagi karakter untuk hidup lebih lama dari satu musim tren. Ia memungkinkan aktor menua bersama cerita, bukan disingkirkan oleh waktu. Tanpa sistem seperti ini, aktor akan terus dipaksa untuk tetap muda atau siap "ditenggelamkan". 


AKTOR Whani Darmawan di set film layar lebar yang menuntutnya harus selalu profesional dan maksimal.-Erwin Octavianto-Instagram/Whani Darmawan

BACA JUGA:Festival Film Jerman KinoFest Angkat Sinema Terbaru tentang Keluarga dan Perempuan

BACA JUGA:Santri dan Sinema Bertemu di Pos Bloc: Festival Film Santri 2025 Resmi Dibuka, Tayangkan 142 Film

Pada akhirnya, posisi aktor dalam waralaba tidak ditentukan oleh seberapa sering ia muncul di layar, tetapi seberapa dalam ia terlibat dalam keberlanjutan cerita. Waralaba akan tetap ada, dengan atau tanpa aktor tertentu. 

Pertanyaannya tinggal satu: Aktor ingin terus berdiri sebagai pekerja proyek, atau mulai menempatkan diri sebagai bagian dari sesuatu yang bisa hidup lebih lama dari satu produksi? (*) 

*) Sutradara & Penulis Naskah

Kategori :