Korupsi Bogor dalam Teori Profesor Harvard

Korupsi Bogor dalam Teori Profesor Harvard

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

Oleh: Djono W. Oesman

 Bupati Bogor Ade Munawaroh Yasin tersangka korupsi. Apa kata dia? ”Saya dipaksa tanggung jawab atas perbuatan anak buah saya,” katanyi kepada pers Kamis (28/4). Terkait teori CMDA karya Prof Robert Klitgaard, berarti teori itu meleset.

TEORI Prof Klitgaard dalam bukunya, Controlling Corruption (1988), menyatakan bahwa rumus korupsia dalah C = M + D – A. Corruption sama dengan monopoly plus discretion minus accountability.

Klitgaard adalah guru besar ilmu hukum, spesifikasi korupsi, di Claremont Graduate University, Amerika Serikat (AS).

Rumusan korupsi dalam huruf-huruf itu sangat terkenal. Meski dicetuskan 34 tahun silam, sampai kini masih jadi rujukan para ilmuwan dalam analisis korupsi.

Rumus Klitgaard disederhanakan jadi begini: korupsi terjadi ketika para pejabat diberi kekuasaan tunggal (monopoli) untuk membuat keputusan-keputusan penting (diskresi) tanpa pengawasan atau kendali (akuntabilitas) yang memadai.

Dalam kasus Ade Yasin, sumber tepercaya di KPK kepada pers menjelaskan:

Dugaan korupsi Ade melibatkan SKPD (satuan kerja perangkat daerah). Khususnya di dinas PUPR (pekerjaan umum dan perumahan rakyat). Juga, auditor BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) Jabar.

Dugaannya sekitar ini: SKPD di PUPR menerima suap dari pihak lain yang diuntungkan oleh proyek pemerintah daerah. Lantas, uang suap itu dibagi ke auditor BPK agar audit finansial Kabupaten Bogor mendapatkan predikat WTP (wajar tanpa pengecualian) dari BPK Jabar.

Sebab itu, dari 12 orang yang ditangkap tim KPK pada Rabu dini hari, 27 April 2022, hanya delapan yang diumumkan KPK berstatus tersangka. Empat dari Pemkab Bogor, empat dari BPK. Yakni:

1) Ade Yasin. 2) Maulana Adam, Sekdis PUPR Kabupaten Bogor. 3) Ihsan Ayatullah, Kasubid Kas Daerah BPKAD Kabupaten Bogor. 4) Rizki Taufik, PPK di Dinas PUPR Kabupaten Bogor.

5) Anthon Merdiansyah, pegawai BPK Jabar, Kasub Auditorat Jabar III. 6) Arko Mulawan, pegawai BPK Jabar, ketua tim audit interim. 7) Hendra Nur Rahmatullah Karwita, pegawai BPK Jabar, pemeriksa. 8) Gerri Ginajar Trie Rahmatullah, pegawai BPK Jabar, pemeriksa.

Pihak KPK mengumumkan, diduga Ade Yasin menyuap Rp 1,9 miliar ke pegawai BPK Jabar. Tujuannya, Kabupaten Bogor bisa kembali mendapat predikat WTP untuk tahun 2021 dari BPK Jabar.

Sedangkan, pernyataan pers pertama Ade selaku tersangka korupsi, dia mengaku dipaksa tanggung jawab atas tindakan anak buah. Maksudnya, tiga tersangka dari Pemkab Bogor itu berhubungan dengan empat tersangka pejabat BPK tanpa sepengetahuan Ade.

Berdasar teori CMDA, korupsi terjadi jika:

Monopoli (dalam hal ini perizinan proyek) hanya dipegang pejabat SKPD. Hanya dimonopoli SKPD. Ditambah diskresi atau keputusan penentu yang hanya dimiliki pejabat tertinggi (dalam kasus ini, bupati). Dan, tanpa akuntabilitas atau pertanggungjawaban.

Seandainya pengakuan Ade di atas benar, teori CMDA meleset. Sebab, di kasus tersebut, korupsi terjadi tanpa diskresi atau keputusan akhir pejabat tertinggi.

Pengakuan Ade kepada pers itu akan didalami di penyidikan KPK. Kemudian, akan dilanjutkan dengan diungkap di persidangan, kelak. Walaupun, kecil kemungkinan audit BPK tanpa sepengetahuan bupati.

Namun, teori CMDA Klitgaard dikritisi Prof Matthew Caleb Stephenson dalam blognya yang dipublikasi 27 Mei 2014.

Stephenson adalah guru besar ilmu hukum, spesifik hukum antikorupsi dan akonomi politik, di Harvard Law School (bagian Harvard University), Amerika Serikat.

Stephenson mengkritisi teori CMDA secara hati-hati dan santun. Maklum, itu bagai forum antarprofesor. Dan, di kalangan akademisi, kritik hal wajib. Bagian dari dialektika: tesis-antitesis- sintesis.

Stephenson fokus ke akuntabilitas. Unsur ”A” di teori CMDA. Bahwa, meski ada akuntabilitas yang kuat, korupsi tetap bisa terjadi. Bahkan, lebih maju lagi, makin kuat akuntabilitas, makin kuat dorongan pejabat untuk korupsi.

Ia memberikan argumentasi di tiga penjelasan berikut:

1) Pejabat yang bertanggung jawab berada di bawah tekanan untuk menghasilkan hasil jangka pendek yang segera terlihat. Itu dapat menciptakan insentif untuk terlibat dalam bentuk korupsi dengan biaya jangka panjang (seperti sumbangan kampanye gelap) untuk memberikan hasil seperti itu.

2) Ketika pejabat tunduk pada ”akuntabilitas yang berlebihan”, sehingga pejabat berpikir bahwa ia akan dipecat dari jabatannya, segera setelah terjadi kesalahan kecil (bahkan jika itu bukan kesalahan mereka). Maka, si pejabat bakal korupsi dalam gerak cepat. Mumpung belum dipecat.

3) Akuntabilitas terhadap bos birokrasi bakal mendorong korupsi ke atas hierarki, terlebih lagi jika atasan (katakanlah, politisi) sebenarnya lebih korup daripada bawahan (katakanlah, birokrat). Maka, meningkatkan akuntabilitas justru menimbulkan korupsi. Bukan oleh bos suatu birokrasi, melainkan oleh atasannya.

Diakui Stephenson, unsur akuntabilitas memang sangat penting mencegah korupsi. Walaupun, tidak signifikan.

Kasus bupati Bogor memperkuat analisis Stephenson. Bukti: adanya akuntabilitas (BPK) justru mendorong terjadinya dugaan korupsi. Sebab, terduga pelaku berpikir: ”Gampang, semuanya bisa diatur.”

Yang berarti teori CMDA tidak berlaku di kasus bupati Bogor. Tapi, teori apa pun bakal mati jika hasil korupsi dibagi-bagi ke banyak pihak. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: