LKKP Dorong Transaksi Sawit Pakai Rupiah
Antrean pembeli minyak goreng curah di Pasar Pucang, Surabaya, beberapa waktu lalu.-Julian Romadhon-Harian Disway-
SURABAYA, Disway - Indonesia adalah penguasa minyak sawit atau crude palm oil (CPO) dunia. Bahkan 46,8 persen total ekspor CPO dunia berasal dari Nusantara. Disusul oleh Malaysia sebesar 30,7 persen. Namun, sampai sekarang patokan harga sawit dunia masih memakai ringgit Malaysia. Bukan rupiah.
Direktur Lembaga Kajian Kemandirian Pangan (LKKP) Heri Purwanto menilai, Indonesia punya momentum untuk mengusulkan rupiah sebagai patokan harga CPO. Presiden Joko Widodo telah melarang ekspor minyak sawit untuk mengatasi krisis dalam negeri. Di sisi lain keberanian Presiden itu juga menunjukkan ke dunia bahwa Indonesia adalah pengendali utama CPO. “Alangkah baiknya pemerintah bisa menjualnya dengan sistem sendiri pakai harga sendiri. Tidak bergantung ringgit,” ujar Heri kemarin (29/4).
Penggunaan rupiah bisa jadi senjata internasional untuk menarik lebih banyak insentif dari perdagangan CPO. Ringgit Malaysia menjadi alat tukar CPO di Bursa Malaysia Derivatives (BMD) yang dirintis sejak tahun 1980. Harus diakui ringgit menguat berkat produk sawit tersebut.
Menurutnya Indonesia harus meniru kebijakan politik perdagangan Rusia. Saat embargo terhadap Rusia diberlakukan, pasokan gas alam Rusia terhenti. Presiden Vladimir Putin memaksa transaksi dilakukan dengan mata uang rubel.
Nah, saat ini berbagai produsen makanan, kosmetik, parfum, dan farmasi yang membutuhkan CPO berteriak protes ke Indonesia. Menurutnya Presiden bisa menjadikan momentum tersebut sebagai bargaining untuk mengembangkan rupiah.
Menurut Heri strategi itu memang berisiko dan berat. Namun jika momentum larangan ekspor tidak dimanfaatkan, maka Indonesia tidak bisa mengambil keuntungan seperti Malaysia. “Ringgit secara pelan-pelan menjadi mata uang yang kuat. Rupiah harus bisa seperti itu,” lanjutnya.
Harga CPO juga sedang meroket. Konsumsi minyak kelapa sawit dunia juga meningkat sebanyak 7 persen setiap tahun. Heri berharap Indonesia lebih agresif untuk menangkap potensi tersebut.
Nilai ekspor CPO sepanjang 2021 melonjak 54,61% ketimbang tahun sebelumnya. Yakni USD 28,52 miliar. Tahun ini nilainya diprediksi bakal kembali naik. Sebab harga minyak nabati makin menggila setelah invasi Rusia ke Ukraina.
Heri melihat peran Badan Pangan Nasional (Bapanas) yang dibentuk Februari lalu sangat vital. Saat ini mereka masih sibuk dengan urusan pembentukan struktur organisasi. “Bila menunggu struktur terbentuk baru bekerja, Bapanas bisa ketinggalan momentum,” jelasnya.
Rektor Universitas Ma Chung Assoc Prof Murpin Sembiring sepakat dengan penguatan Bapanas. Sebab Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian BUMN yang menangai urusan pangan terbukti gagal mengendalikan minyak goreng. Fungsi pengawasan dari berbagai institusi yang sudah ada juga melempem. “Mafia pelat kuning dan pleat merah selama ini bersatu. Perlu lembaga pendobrak seperti KPK,” kata pakar ekonomi bisnis itu.
Murpin juga mengapresiasi langkah presiden yang melibatkan TNI dalam melawan mafia minyak goreng tersebut. TNI-AL berhasil mengamankan 63 juta metrik ton minyak goreng ilegal yang bakal diekspor, Kamis (28/4).
Ada 18 kapal yang diamankan saat berlayar. Murpin mengatakan semuanya bukan kapal kecil yang bongkar muat di pelabuhan rakyat (Pelra). Melainkan kapal tanker yang bersandar di pelabuhan besar. “Mereka bongkar muat di pelabuhan besar yang ada pihak Pelindo, bea cukai, serta KPLP (Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai). Dan lolos. Syukurlah TNI-AL berhasil mengungkap pelanggaran itu,” katanya. (Salman Muhiddin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: