Idulfitri dan Tren Baru Komunikasi
-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-
IDULFITRI selalu menghadirkan cerita tersendiri. Jika sebagian menyambutnya disertai kian menguatnya tradisi; menyucikan diri, ritual-ritual agama, dan adat yang terus lestari, saya justru meresapi sesuatu yang sebenarnya telah berlangsung lama namun baru terinsafi. Yakni deretan kalimat-kalimat puitis yang digubah kawan-kawan di berbagai platform media sosial.
Sejak H-1 Lebaran, puluhan pesan mendarat mulus di WA, Instagram, dan aplikasi percakapan lain. Substansinya senada: ucapan selamat merayakan Idulfitri yang diiringi permohonan maaf. Dalam tuntunan agama dijelaskan bila seseorang menjelang Lebaran masih menyimpan amarah terhadap sesama, atau hingga tidak bertegur sapa sampai tiga hari lamanya, niscaya seluruh puasanya tidak dirahmati Ilahi.
Tentu saya mengamini begitu saja doa dan ucapan maaf itu. Cuma yang menggelitik adalah cara penulisan pesan-pesan tersebut. Banyak pesan disampaikan secara puitis. Semua tampak jelas karena deretan kata itu mengandung makna-makna simbolis, filosofis, sekaligus metaforis (bahkan hiperbolis).
Seperti yang tersurat berikut ini (hanya sebagian saja yang saya kutipkan):
Beningkan hati dengan cinta, cerahkan jiwa dengan kasih,
Lalui hari dengan senyum, tetapkan langkah dengan syukur,
Telah datang Lebaran, mohon maaf atas segala kekhilafan.
Bila matahari padam di siang bolong, percayalah itu bukan salahku,
Bila lautan kering tak berair, percayalah aku tak pernah rencanakan itu,
Tapi bila kau merasa tersakiti sekali waktu, mungkin saja itu dosaku,
semoga Idulfitri membuatmu memaafkanku.
Jika semua harta adalah racun, maka zakatlah penawarnya,
Jika seluruh umur adalah dosa maka taqwa dan tobatlah obatnya,
Jika seluruh bulan adalah noda, maka Idulfitri pemutihnya.
Tiada hari semulia Idulfitri,
Mohon maaf lahir batin atas lisan yang tak terjaga,
Janji yang terabaikan dan hati yang tersakiti.
Dengan niat yang suci
Mohon serangkaian maaf yang tulus
Pada sahabat terkasih
Untuk membuka hari yang penuh barokah ini.
Gejala Lebaran ”Online”
Dalam konteks ini, deretan pesan puitis tersebut menjadi gejala dari tren baru berlebaran yang kian masif beberapa tahun terakhir. Yakni Lebaran ”online” dengan menjadikan beragam platform media sosial sebagai média menyampaikan pesan Idulfitri.
Hal itu sebagai konsekuensi dari pertumbuhan pengguna aplikasi media sosial dan pengakses internet di Indonesia. Berdasarkan riset Wearesocial Hootsuite tahun 2019, jumlah pengguna internet sebanyak 150 juta orang atau 56 persen dari populasi. Tahun 2020, seiring dengan adanya pandemi Covid 19, jumlah tersebut meningkat menjadi 196,7 juta orang atau 73,7 persen dari populasi.
Dengan kemudahan berkomunikasi di era penuh disrupsi ini, sebagian masyarakat beranggapan sudah ”cukup” berlebaran dengan cara rebahan sambil memainkan jari di atas layar ponsel pintar. Jadilah jalanan kampung dan gang-gang di permukiman penduduk menjadi relatif sepi seusai salat Idulfitri. ”Kunjungan online” telah menggantikan persamuhan offline.
Sebagai tren yang relatif baru, sebagian masyarakat tersebut seolah mengamini tesis Marshall McLuhan (1991) tentang medium is the message. Bahwa medium penyampai pesan justru lebih penting dibanding pesan itu sendiri. Dalam konteks ini, pesan yang substantif adalah bersilaturahmi dengan sanak saudara maupun kerabat secara face to face. Menjalin keakraban dan menjaga keintiman komunikasi selama Idulfitri. Akan tetapi hadirnya opsi baru untuk berkomunikasi dengan medium aplikasi online membuat sebagian dari kita memilih medium baru itu dibandingkan mempertahankan tradisi ber-Idulfitri yang sebelumnya sudah eksis.
Urgensi Silaturahmi
Sebagaimana disinyalir Manuel Castels (1999), munculnya masyarakat jaringan berbasis internet (network society) akan menghadirkan budaya masyarakat virtual. ”Lebaran online” salah satu manifestasi dari kultur masyarakat virtual tersebut.
Akan tetapi dalam hemat saya, tidak selamanya kultur masyarakat virtual itu baik dan layak diikuti. Sebab dalam beberapa hal kita juga harus mempertahankan tradisi yang telah dibangun oleh para leluhur. Salah satunya tradisi silaturahmi secara offline di hari raya Idulfitri. Senyampang tidak berkonsekuensi menyebarkan Covid-19, bersilaturahmi secara langsung jauh lebih utama dibandingkan sekedar berlebaran online.
Dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah An-Nahdliyah, kerap dikenal sebuah konsep yang bernama berkah. Selain melaksanakan perintah agama, menjaga tali silaturahmi juga penuh dengan muatan berkah. Bagi masyarakat modern dengan paradigma yang materialistis, konsep berkah mungkin dianggap mitos dan ilusi. Namun dalam tradisi berpikir ala Ahsunnah, berkah berarti berkembang dan langgengnya kebaikan. Karena itu, meskipun manifestasi berkah tidak selalu material, banyak orang percaya bahwa berkah selalu eksis dalam kehidupan. Setidaknya terepresentasi secara spiritual.
Karena itu, sebagai antitesis dari tren berlebaran online, model komunikasi offline penuh berkah harus tetap dijaga baranya. Setidaknya di momen Idulfitri ini silaturahmi online menjadi pilihan terakhir dari sekian opsi model komunikasi lainnya. (*)
*) Ketua Fraksi PKB DPRD Jawa Timur; mahasiswa Pascasarjana Media dan Komunikasi Universitas Airlangga
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: