Cerita dari Rumah Baru untuk Korban Erupsi Semeru (2)

Cerita dari Rumah Baru untuk Korban Erupsi Semeru (2)

Gapura pintu masuk ke perumahan Griya Semeru Damai.-Mohamad Nur Khotib-Harian Disway-

Warga terdampak erupsi Semeru telah direlokasi ke hunian tetap di Desa Penanggal, Lumajang. Masih secara bertahap. Baru 125 KK yang mendapat kunci rumah baru pada 27 April. Namun, tak semua yang langsung menempati. Hanya sebagian yang berlebaran di kompleks perumahan baru itu: Griya Semeru Damai.

 

MENDUNG bergelayut di langit Desa Penanggal pada Minggu (1/5) sore. Sore hari terakhir bulan Ramadan itu dibuka dengan hujan. Mulai turun sejak jam 3 hingga 5 sore. Mengguyur kompleks perumahan hunian tetap warga terdampak erupsi Semeru.

 

Lampu-lampu teras rumah deretan blok A dan B sudah menyala putih terang. Sementara di ujung barat, persis jauh di belakang rumah-rumah itu, berdiri gagah Gunung Semeru. Yang masih menampakkan pesonanya meski sebagian tubuhnya terbalut awan putih. 

 

Pemandangan itu bisa terlihat dari kampung Banjar Rejo Kulon yang berbatasan langsung dengan kompleks perumahan baru tersebut. Perbatasan yang ditandai dengan adanya gapura bambu bertulisan Selamat Datang. Memisahkan antara pemukiman warga kampung dan kompleks perumahan baru itu. 

 

Begitu masuk gapura, berjajar di sisi kiri-kanan rumah-rumah baru. Surga baru bagi para terdampak erupsi Semeru. Nuansa keceriaan pun terpancar jelas dari kejauhan. Salah satunya bersumber dari rumah pertama sebelah kanan: Blok B1-01.

 

Rumah itu lebih hidup ketimbang rumah-rumah yang lain. Ada suara yang saling sahut-sahutan dari sana. Dua lelaki, satu perempuan, dan satu bocah kecil. Merekalah yang menjadi penghuni. 

 

“Kemarin malam pertama kami tidur di sini,” kata Lulus Susilowati lantas tertawa. Dia pemilik sah rumah itu. Lulus merupakan salah seorang yang terdampak erupsi Semeru. Rumah lawasnya hancur diguyur guguran awan panas di Desa Curah Kobokan.

 

Kini, rumah barunya pun sudah siap ditempati sejak sehari sebelumnya. Seluruh perabotan sudah tertata rapi. Pintu di dua ruang kamar depan sudah bertirai. Perpaduan merah muda dan kuning tua.

 

Begitu juga dengan ruang tamu yang dilengkapi meja-kursi berbahan kayu. Meja itu sudah bertaplak hijau motif bunga dan batik. Sudah siap menerima tamu. “Alhamdulillah bisa Lebaran di sini. Kami nggak nyangka juga,” celetuk Lulus.

 

Tidak hanya itu. Pernik-pernik hiasan dinding juga sudah dipasang. Ada rangkaian bunga plastik yang menjuntai di atas pintu kamar. Juga beberapa foto keluarga dan kaligrafi telah terpajang di dinding ruang tamu.

 

Lulus memang hanya bisa bersyukur atas apa yang didapatkan saat ini. Apalagi dia sudah sumeleh pasca erupsi Semeru itu. Tidak berharap muluk-muluk untuk babak kehidupan selanjutnya. “Wong saya ini, pokok nyawa masih kanthil saja sudah alhamdulillah, kok,” ujarnya dengan tegas.

 

Lebih-lebih dia juga mensyukuri keluarganya masih utuh. Anak lelaki semata wayangnya masih hidup. Mampu lolos dari kejaran awan panas Semeru saat itu. Pun dengan suaminya yang selamat lantaran sedang bekerja di Bali saat erupsi. 

 

Kondisi itulah yang membuat Lulus merasa lebih beruntung. Terutama jika dibandingkan para tetangganya. Ada yang ditinggal mati oleh seluruh keluarga.

 

Lulus Susilowati (kiri) bersama keluarga di rumah barunya.
Foto: Muhammad Nur Khotib-Harian Disway

 

Kala itu dia berhasil menyelamatkan diri dari awan panas. Lulus bersembunyi di bawah dipan kasurnya sendiri. Dengan perasaan takut dan cemas. Sebab, anak semata wayangnya tak berhasil dia ajak sembunyi bersama.

 

“Anak sudah saya ikhlaskan kalau memang gak tertolong pas waktu itu,” kenangnya dengan nada getir. Ternyata si anak berhasil lolos. Lari bersama warga lain ke tempat yang lebih aman. Keduanya bertemu kembali di posko pengungsian.

 

Meski begitu, Lulus kini masih mengalami trauma yang cukup mendalam. Kejadian yang dialaminyi itu masih tertanam kuat di benak. Bahkan dia mampu menceritakan secara runtut kenangan pahit itu. 

 

“Sekarang kalau denger suara gluduk (guntur) aja sudah mak srengg...,” kata Lulus lantas mengelus dada. Dia menceritakan itu dengan mata yang membelalak. Sambil sesekali membenarkan belahan rambut yang menutupi mata.

 

Lulus pun masih harus kontrol rutin ke rumah sakit. Satu bulan sekali. Dadanya masih sering sesak. Akibat kandungan belerang masuk ke dalam tubuh.

 

Tapi, rasa sakit itu tak terlalu berarti bagi Lulus. Dia selalu membandingkan dengan apa yang masih tersisa dalam hidupnya sekarang. Terutama dengan keluargi yang masih utuh. Ditambah lagi dapat hunian rumah baru. “Cuma bisa alhamdulillah,” ucapnya dengan tersenyum. (Mohamad Nur Khotib)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: