Cerita dari Rumah Baru untuk Korban Erupsi Semeru (4-habis)
Suasana Griya Semeru Damai di bawah naungan Gunung Semeru.-Mohamad Nur Khotib-Harian Disway-
Sebanyak 125 KK yang terdampak erupsi Semeru sudah mendapat kunci rumah baru pada 27 April lalu. Lebih dari separo sudah menempati. Boyongan dari posko pengungsian. Namun, masih ada puluhan KK yang belum bisa menempati. Sebab masih sungkan dengan saudara yang belum mendapat kunci.
MENDUNG datang pada sore jelang malam terakhir bulan Ramadan, Minggu (8/5) lalu. Suhu kompleks perumahan Griya Semeru Damai di Desa Penanggal juga menjadi dingin. Menginjak lantai rumah baru Suryadi rasanya seperti kaki menyentuh permukaan es batu. Ngilu.
Entah berapa derajat Celsius di ruang tamu saat itu. Yang jelas, Suryadi tak membiarkan Harian Disway, tamu pertamanya, kedinginan. Ia membeber tikar kecil bergambar karakter kartun di tengah. Mengingat kursi-tamu yang sepaket dengan bantuan rumah baru tersebut masih belum ditata.
Suhu yang dingin lambat laun tak terasa lagi. Menjadi hangat oleh sambutan Suryadi bersama putri dan istrinya. Terutama karena anak keduanya, Mirnawati. Bocah 12 tahun itu menenteng ponsel bapaknyi berkeliling ruangan.
Dia sedang melakukan panggilan video dengan Pak Dhe-nyi yang di Sidoarjo. Menceritakan seluk beluk rumah barunyi. Tentu diselingi sikap pamer khas anak kecil.
Ocehan riang putrinya itulah yang membuat Suryadi senyum-senyum tersipu malu. Keceriaan seperti itu sanggup memancarkan spirit tersendiri. Tidak ada rasa sesal dalam sorot mata mereka.
“Nggih yok napa malih. Pun sagede bersyukur mawon (ya mau bagaimana lagi. Sudah bisanya bersyukur aja, Red),” celetuk Suryadi lantas tersenyum sambil masih tersipu oleh tingkah putrinyi.
Ya, saat itu memang agenda pertama keluarga kecil itu masuk ke rumah baru mereka. Sekaligus bersih-bersih area yang masih kotor bekas garapan tukang. Terutama lantai di setiap ruangan yang berdebu.
Sekitar 10 menit kemudian gerimis datang. Membasahi ruas-ruas jalan di luar. Juga batu-batu fondasi masjid baru yang berada persis di depan rumah Suryadi. Bersamaan itu suara motor butut semakin keras dari arah timur.
Motor itu berhenti tepat di depan rumah Suryadi. Lelaki bersarung dan berjaket kulit tebal memarkir motor butut hitamnya di sisi ruas jalan yang masih berstruktur tanah. Turun, kemudian melompati gorong-gorong yang menganga.
Lelaki itu berucap salam dengan senyum lebar saat tiba di depan pintu. Suryadi beranjak menyambut tamu kedua di rumah barunya. Mempersilakan Imam Syafi’i duduk di tikar yang sama. Kami duduk melingkar dan bersila.
Tidak ada makanan dan minuman yang disajikan. Maklum masih bulan puasa. Dan lebih maklum lagi karena rumah baru itu belum resmi dihuni. “Ada rasa yang kurang enak kalau gak bareng-bareng,” ungkap Suryadi sambil menepuk lutut Syafii yang bersarung itu.
Keduanya masih satu sanak famili. Meski tidak satu rumah. Namun, sama-sama terdampak erupsi di Dusun Curah Kobokan. Cuma nasib mereka yang beda.
Suryadi sudah mendapat kunci rumah barunya sejak 27 April lalu. Bersama 124 KK lainnya yang merupakan warga terdampak erupsi di Desa Sumberwuluh. Sementara Imam Syafi’i belum diserahi kunci.
“Kata petugas masih diurus. Berkasnya sudah dikumpulkan, kok,” katanya dengan nada yang makin melemah. Agaknya ia merasa harus menjaga perasaan Syafi’i. Sementara di luar, hujan makin deras.
Jalan perumahan yang diapit blok-blok Griya Semeru Damai.
Foto: Mohammad Nur Khotib-Harian Disway
Syafi’i harus lebih bersabar lagi. Kunci rumah barunya itu masuk giliran berikutnya. Entah putaran kedua atau ketiga. Itu menyangkut keputusan dari pemerintah pusat langsung.
Bahwa prioritas penghuni pertama rumah baru itu adalah para terdampak erupsi yang rumahnya rusak berat. Serta mereka tinggal di posko pengungsian. Syarat itulah yang menempatkan Syafi’i di giliran belakang untuk mendapat kunci.
Sebab, Syafi’i tidak tinggal di posko pengungsian. Walau rumahnya juga rusak berat. Syafi’i memilih mengungsikan keluarganya ke tempat baru. Yakni mengontrak salah satu rumah di Desa Penanggal.
“Sama-sama terdampak, rasanya sungkan kalau mendahului (tinggal),” sahut Suryadi. Begitu juga dengan warga terdampak yang masih mengantre kunci. Ia pun memutuskan untuk menunda menghuni rumah barunya itu. Entah sampai berapa lama lagi belum bisa dipastikan.
Kini perasaannya campur aduk. Antara suka sekaligus sedih. Bersyukur karena lebih dulu mendapat kunci. Dan sungkan karena merasa melangkahi saudara sendiri. Yang jelas, Suryadi membuktikan satu hal. Bahwa rasa empati itu masih ada terhadap sesama warga terdampak erupsi. (Mohamad Nur Khotib)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: