Istri Tersangka Kredit Bank Jatim Tidak Pernah Terima Surat dari Kejari Surabaya

Istri Tersangka Kredit Bank Jatim Tidak Pernah Terima Surat dari Kejari Surabaya

SIDANG praperadilan dengan tergugat Kejaksaan Negeri Surabaya digelar di Pengadilan Negeri Surabaya.-Michael Fredy Yacob-

SURABAYA, DISWAY.ID- Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya terpojok dalam persidangan praperadilan kemarin (11/5). Penyebabnya adalah penjelasan Yanti, istri tersangka Ardianto. Dia dihadirkan sebagai saksi fakta bersama mantan advokat Ardianto dan seorang saksi ahli.

Ardianto ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejari Surabaya lantaran diduga terlibat dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi penyimpangan pemberian kredit melalui Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jatim.

”Dari penjelasan istri tersangka tadi, menurut saya, ada unsur tindak pidana di sana. Tanda tangan dan parafnya pada tanda terima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) diduga palsu. Seolah, sudah diterima istri tersangka,” kata Masbuhin, penasihat hukum tersangka.

Sebab, dalam persidangan itu, secara tegas Yanti menjelaskan bahwa dirinyi tidak pernah menerima surat itu. Bahkan, SPDP tersebut tidak pernah diterima keluarga sampai saat ini. Walau memang ada surat dari Kejari Surabaya. Tapi, itu bukan SPDP. Itu surat panggilan Ardianto sebagai saksi.

”Penjelasan itu diberikan di bawah sumpah. Istri klien saya mengaku tidak pernah menerima surat tersebut. Termasuk orang rumah. Tidak pernah ada yang pernah menerima SPDP itu,” tegasnya. 

Kurir Kejari Surabaya juga mengaku hanya dua kali mengirimkan surat kepada keluarga Ardianto.

Tanda tangan yang tertera dalam buku ekspedisi kurir itu terlihat hampir sama dengan aslinya. Namun, ada beberapa detail tanda tangan yang sangat berbeda. ”Tapi, pada intinya, Yanti mengaku tidak pernah didatangi dan diberi SPDP itu,” ungkapnya.

Karena itu, ia berniat untuk melaporkan orang yang berusaha memalsukan tanda tangan tersebut. Laporan yang diberikan adalah tindakkan pemalsuan tanda tangan. Temasuk orang yang menuliskan nama lengkap penerima. 

”Tapi, kita harus melihat fakta persidangannya lagi. Dan kami harus lebih detail melihat tanda tangan itu,” tambahnya.

Sementara itu, ahli hukum pidana dan hukum administrasi dari Universitas Bhayangkara Prof Sadjijono menyoroti terkait pengeluaran surat secara rapel. Dilakukan pada 4 April 2022. Ahli itu menjelaskan, panggilan yang dilakukan beberapa kali itu menandakan bahwa perkara tersebut biasa saja.

Tidak ada urgensi yang mengharuskan penyidik kejaksaan mengeluarkan surat secara rapel. Ahli itu menilai, tindakan jaksa itu melanggar asas kepatutan dan kewajaran. ”Kalau itu tidak terpenuhi, akhirnya cacat prosedur dan melanggar hukum,” jelasnya.

Pelanggaran yang terjadi mulai prosedur penetapan tersangka sampai pada penahanan. Hal itu bertentangan dengan asas kepastian hukum dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan. Asas kepastian hukum merupakan asas dalam negara hukum.

Karena sudah dinilai melanggar hukum, ia bersama tim berniat akan melaporkan para jaksa ke Jamwas (Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan). ”Semua itu bakal kami berikan setelah sidang ini selesai,” tegasnya. (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: