Iqlima Kim dan Sulitnya Bukti Pelecehan Seks

Iqlima Kim dan Sulitnya Bukti Pelecehan Seks

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

Iqlima Kim versus pengacara kondang Hotman Paris. Ya... nggak sebanding. Bukan karena Iqlima mantan asisten pribadi Hotman. Bukan. Melainkan, tuduhan pelecehan seks Iqlima, rumit. Sulit dibuktikan.

IQLIMA mengaku kepada pers, dia dilecehkan seks oleh Hotman, saat Iqlima asisten pribadi Hotman beberapa waktu lalu. ”Modusnya, Pak Hotman ngajak saya pacaran. Terus melakukan seenaknya.”

Dilanjut: ”Kalau saya menolak salah satu ajakan dari beliau, pipi saya ditampar. Mungkin menurut beliau hal itu sepele, beliau ketawa-tawa. Iya, di mobil itu ditampar. Saya nutupin tangan saya, didorong.”

Sebaliknya, Hotman Paris membeberkan asal-usul Iqlima, sebelum ia rekrut sebagai asisten pribadi. Begini:

”Itu orang dari keluarga susah. Dari Sukabumi punya anak satu. Anaknya dititipkan di Sukabumi hanya demi sesuap nasi. Dia ngekos di Mangga Besar.”

Dilanjut: ”Terus suatu waktu dia minta foto di Holywings (bar di Kemang, Jakarta Selatan). Akhirnya kenalan, dia dengan pakaian yang sangat seksi.”

Terbaru, Iqlima didampingi kuasa hukum, Razman Arif Nasution, melapor ke kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Kamis (12/5).

Razman: ”Kedatangan kami (ke Kemen PPPA) meminta keterangan atau klarifikasi agar Kemen PPPA membantu kami. Pendampingan  terhadap klien kami yang dilecehkan seksual oleh Hotman.”

”Pertama, untuk pemulihan psikologis klien kami. Kedua, mengambil tindakan hukum terhadap dugaan pelecehan seksual yang diduga dilakukan saudara Hotman Paris Hutapea.”

”Ketiga, kami meminta dukungan Kementerian PPPA tentang dugaan pencemaran nama baik klien kami, yang dilakukan saudara Hotman, terkait beberapa foto Iqlima yang beliau posting di Instagram, sebagai pencemaran nama baik klien kami.”

Iqlima, melalui Instagram, mengungkap efek pelecehan seks tersebut:

Sakit seminggu. Awalnya sakit pinggang. Ternyata bukan. ”Kalau sudah datang itu serangan, badanku tiba-tiba menggigil parah. Nyeri di pinggang bagian belakang, seluruh badan mengigil.”

Sudah di-ruqyah, tidak sembuh. Kepala serasa ditusuk-tusuk. Berobat ke dukun, tidak sembuh juga.

Iqlima: ”Terus, muntah darah. Hidung juga bercucuran darah. Buat teman-teman muslim, mohon doakan saya Al- Fatihah. Buat teman-teman nonmuslim, mohon doakan saya juga.”

Dampak psikis pelecehan seksual (jika benar terbukti) memang unik dan beragam. Disebut PTSD (posttraumatic stress disorder).

Dikutip dari kumpulan tulisan pakar psikiatri, Brunello N., Davidson J.R.T., Deahl M., Kessler R.C., Mendlewicz J., Racagni G. dalam karya bertajuk: Posttraumatic Stress Disorder: Diagnosis and Epidemiology, Comorbidity and Social Consequences, Biology and Treatment. Neuropsychobiology (2001) menyatakan:

PTSD akibat pelecehan atau kekersan seksual pria terhadap wanita. Sedangkan, kekerasan seksual didefinisikan begini:

”Segala bentuk kontak seksual, bisa berupa pelecehan fisik dan psikis, juga ucapan dan ajakan hubungan seksual, tanpa persetujuan pihak wanita. Yang melanggar rasa otonomi, kontrol, dan penguasaan seorang wanita atas tubuh mereka.”

Dilanjut: ”Efek pelecehan seksual dapat dimanifestasikan secara biologis, psikologis, dan sosiologis.”

Biologis bisa berupa hamil, sakit kepala, mual-mual, badan terasa sakit, meskipun ternyata secara klinis tidak sakit.

Psikologis, merasa malu, terhina, sehingga sulit tidur. Bahkan, bisa halusinasi dan ketakutan tanpa sebab. Intinya, traumatik kejiwaan.

Sosiologis, tidak mau bergaul karena malu. Di negara-negara berkembang, korban justru dicemooh keluarga dan masyarakat. Menambah beban korban.

Solusinya, perawatan. Atau terapi kejiwaan. Didukung keluarga dan masyarakat. Tapi, di masyarakat negara-negara berkembang, korban malah disalahkan. Atau dicurigai, mau menerima pelecehan seks, ketika hal itu sedang terjadi.

Dr Aphrodite T. Matsakis, dalam bukunya, I Can't Get Over It: A Handbook for Trauma Survivors (New Harbinger Publications, 1996) menyebutkan:

Pemulihan PTSD terkait penyerangan atau pelecehan seksual tidak hanya diukur dengan menghilangkan gejala. Melainkan lebih pada pemberdayaan korban.

”Kesembuhan dari trauma, tidak berarti bahwa survivor akan melupakan pengalamannya atau tidak pernah lagi mengalami gejala apa pun. Tidak hanya begitu.”

Sebaliknya, pemulihan yang sukses bersifat subjektif dan diukur dengan:

Apakah korban meningkatkan keterlibatannya di masyarakat? Apakah punya keterampilan untuk mendapatkan kembali kendali atas hidupnya? Apakah dia memaafkan diri sendiri atas kesalahan, rasa malu, dan kognisi negatif lainnya?

Semua pertanyaan itu terukur dalam terapi psikiatri yang sudah baku.

Di Indonesia, pelecehan seksual masuk kejahatan kesusilaan. Diatur dalam Pasal 294 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam kasus Iqlima, yang waktu itu statusnya pegawai Hotman, diatur dalam Pasal 86 ayat (1) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) bahwa pekerja berhak atas perlindungan moral dan kesusilaan.

Di Pasal 294 ayat (2) KUHP, pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya, diancam dengan pidana penjara selama tujuh tahun.

Persoalannya, pelecehan seks sulit dibuktikan. Misalnya, pria mencolek bokong wanita yang bukan istrinya, pasti tidak dipamerkan di depan orang lain. Pasti di tempat tersembunyi. Atau tidak ada yang melihat, kecuali pelaku dan korban.

Sedangkan, hukum adalah masalah bukti. Jika dugaan tindak pidana tidak bisa dibuktikan, berarti tidak ada tindak pidana.

Itu juga, Hotman sempat komentar ke wartawan: ”Dia bilang pelecehan di mobil, apa buktinya?”

Jadi, secara hukum kasus ini tergolong alot, keras seperti batu, karena sulit dibuktikan. Antara pengacara Iqlima dan Hotman baru melancarkan langkah-langkah pembuka. Belum ada yang menyerang.

Seumpama, target Iqlima hanya untuk publikasi, dia sudah sukses. Publikasi tidak berarti pansos (panjat sosial alias mencari panggung). Bukan. Sebab, kalau itu pansos, dia sudah menanggung malu.

Melainkan, publikasi Iqlima sekadar pelampiasan sakit hati terhadap Hotman. Itu pun seumpama, benar terjadi pelecehan, yang sulit dibuktikan secara hukum.

Buktinya, kuasa hukum Iqlima tidak lapor polisi, malah ke Kementerian PPPA. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: