Belajar dari Kasus Cerai Wanda Hamidah

Belajar dari Kasus Cerai Wanda Hamidah

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

Wanda Hamidah akan diperiksa polisi. Atas laporan mantan suami, Daniel Patrick Schuldt, merusak rumah. Akibat sengketa hak asuh anak, pascacerai. Kasus mereka trending topic, jadi pelajaran efek perceraian.

KASATRESKRIM Polres Depok AKBP Yogen Heroes Baruno kepada pers, Senin (23/5), membenarkan bahwa Wanda diperiksa pekan ini. ”Kalau tidak Jumat, ya Senin pekan depan,” katanya.

Daniel Patrick, selaku pelapor, diperiksa polisi Senin (23/5) di Polres Depok. Ia menyerahkan beberapa bukti hukum. Yang dibenarkan AKBP Yogen:

”Pada saat terjadi perusakan kaca jendela di rumah pelapor, itu jelas ada videonya. Kami unggah jadi satu flash disk. Penyidik juga akan memeriksa saksi-saksi.”

Konstruksi kasus. Wanda menikah dengan Daniel pada 2015.

Ketika itu Wanda janda beranak tiga: Noor Shalima Zamaiya Hakim, Muhammad Alfath Hakim, dan Rakshan Rashad Hakim. Itu hasil pernikahan pertamanya dengan Cyril Raoul Hakim (pernikahan mereka pada 20012012).

Wanda usia 37 saat menikah dengan Daniel yang saat itu usia 27. Pernikahan dikaruniai seorang anak laki, Malakai Ali Schuldt Hadi.

Pada 2019 mereka cerai. Pengadilan agama menetapkan, hak asuh anak (Malakai) kepada Wanda. Lalu, Daniel menikah lagi dan sudah punya anak bayi dengan istri baru.

Tapi, kemudian Malakai dibawa Daniel karena juga ingin mengasuhnya.

Perkara yang dipolisikan terjadi pada Minggu, 15 Mei 2022. Kronologinya dijelaskan AKBP Yogen, begini:

Wanda dan Daniel janjian bertemu di suatu tempat di Depok. Daniel akan mengembalikan Malakai ke Wanda. Maka, Daniel bersama Malakai mendatangi tempat itu.

Ternyata, di tempat yang dijanjikan, Wanda tidak ada. Maka, Daniel dan Malakai pulang ke Cinere, Depok. Malamnya, Wanda mendatangi rumah Daniel dengan emosi.

Wanda dituduh merusak pintu kaca dan melontarkan kata-kata tidak patut. Perusakan rumah itulah yang dipolisikan Daniel.

Wanda adalah mantan model yang kemudian jadi politikus. Bergabung dengan Partai Amanat Nasional (19982014). Kemudian pindah ke Partai Nasional Demokrat (2014 sampai sekarang). Pernah jadi anggota DPR RI, 2009.

Sebagai public figure, kasusnya jadi sorotan masyarakat. Walaupun kasus perceraian sangat banyak. Dan, hampir semua kasus perceraian diikuti dua kasus berikutnya: Perebutan harta gono-gini dan perebutan anak.

Debbie Pincus dalam bukunyi, How I Learned to Control My Temper (1995), menyebutkan, meski hak asuh anak sudah ditentukan pengadilan saat vonis perceraian, setiap ortu sama-sama ingin mengasuh anak.

Di buku itu disebutkan, jangan tempatkan anak di tengah (antara ayah atau ibu yang sudah bercerai).

”Anak-anak bisa terjebak di tengah ketika ortu menempatkan mereka di tengah. Karena itu, jangan bicarakan mantan Anda dengan cara yang akan memaksa mereka untuk memihak. Anak-anak tidak ingin memihak. Mereka ingin bebas dari kekhawatiran tentang orang tua lain (tiri) saat mereka bersama Anda.”

Buku itu ditujukan kepada pembaca wanita. Sebab, kebanyakan hak asuh anak jatuh kepada ibu. Kecuali, pihak pengadilan menganggap bahwa ibu tidak mampu mengasuh anak.

Contoh agar anak tidak terjebak di tengah, begini:

Anak berkata kepada ibu: ”Ayah mengatakan, bahwa ibu tidak banyak membantu saya dengan pekerjaan sekolah.”

Perkataan anak ini bisa memancing emosi ibu. Dan, biasanya emosi ibu memang terpancing dengan mengatakan hal buruk tentang mantan suami. Atau, minimal ibu akan mengatakan ke anak, begini: ”Ucapan ayahmu itu tidak benar.”

Menurut Debbie Pincus di bukunyi, reaksi ibu seperti itu salah. Sebab, jika ibu menyalahkan mantan suami, posisi anak bakal terjebak di tengah. Maksudnya, anak terombang-ambing di tengah konflik, tanpa akhir.

Pincus: ”Jawaban ibu yang benar, demikian: Saya pikir kita (ibu dan anak) melakukan pekerjaan yang baik bersama-sama. Maafkan ayahmu jika ia merasa seperti itu.”

Dengan jawaban itu, ibu berhasil mengakhiri pertempuran, dan mengeluarkan anak dari tengah.

”Ini juga mengirimkan pesan kepada anak, bahwa orang tua lain (ayah) boleh saja melakukan atau mengatakan apa pun yang mereka inginkan. Tetapi, anak merasa, tidak ada masalah antara ia dengan ibu. Sebab, antara ayah dan ibu tidak ada pertempuran.”

Pandangan anak, bahwa tidak ada pertempuran antara ayah dan ibu yang sudah bercerai, menurut Pincus, penting. Sebab, jika ibu menyalahkan ayah, anak bakal berpersepsi buruk terhadap ayah. Demikian pula sebaliknya.

Buku karya Pincus mengulas banyak hal. Namun, yang cocok dengan Wanda versus Daniel adalah bab tentang: Transisi anak antar-rumah (ayah dan ibu).

Artinya, penyesuaian anak ketika mereka berpindah-pindah antara rumah ayah dan ibu. Misalnya, pembagian sekian hari di rumah ayah, sekian hari di rumah ibu.

Di bagian itu, banyak ortu bercerai tidak menyadari, bahwa anak sesungguhnya galau. Mereka selalu berharap ortu berkumpul lagi. Tapi, mereka dipaksa menerima keadaan, bahwa ortu sudah berpisah.

Disebutkan: "Pada hari anak-anak tiba di rumah ibu, mereka mungkin selalu emosional. Bahkan mengamuk, meledak-ledak, tanpa sebab yang jelas. Anak masuk kamar, lantas menutup pintu. Menolak jika diajak bicara.

Mengapa mereka melakukan itu? Mereka mungkin menguji Anda untuk melihat, apakah Anda kuat dan mantap.

Mereka mungkin telah menyimpan emosi ke orang tua yang lain (ayah) dan sekarang melepaskannya dengan ibu.

Mereka mungkin mengekspresikan kemarahan mereka pada gangguan dalam hidup mereka dan keinginan mereka agar Anda kembali bersama sebagai sebuah keluarga.

Pincus: ”Terkadang anak-anak bikin gara-gara dengan sengaja. Karena mereka selalu berharap agar orang tua mereka akan berkumpul lagi. Walaupun akhirnya mereka sadar, bahwa itu tidak mungkin terjadi.”

Di kasus Wanda-Daniel, itu belum terjadi. Sebab, anak mereka, Malakai, belum berusia 2 tahun. Masih terlalu kecil. Di kasus tersebut cenderung rebutan mengasuh antar-ortu.

Daniel kepada polisi mengatakan, Malakai kini masih tinggal bersamanya di Cinere. ”Sebab, ia trauma, takut pada ibunya, saat ia melihat ibunya marah-marah dan merusak rumah.”

Daniel kepada wartawan megatakan: ”Saya mau balikin Malakai (ke Wanda), asal anaknya mau ya. Pihak polisi sempat tanya, ’Malakai mau pulang sama ibu atau Malakai mau di sini?’ Malakai bilang, Malakai takut sama ibu. Malakai tidak mau balik ke sana. Dia mau stay sama saya. Jadi, saya sebagai ayah harus melindungi anak.”

Dari situ kelihatan, bahwa kasus itu tidak sederhana. Menyangkut anak yang belum mengerti arti perceraian ortu. Dan, itu jadi pelajaran berharga buat masyarakat. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: