Ketika Jalan Tunjungan Hidup Gara-Gara Pandemi

Ketika Jalan Tunjungan Hidup Gara-Gara Pandemi

Tulisan penanda Tunjungan Romansa yang menjadi salah satu magnet foto di Jalan Tunjungan.-Rebecca-Harian Disway-

Pemkot Surabaya membongkar seng penutup fasad toko-toko Jalan Tunjungan 7 tahun lalu. Gedung-gedung di jalan legendaris itu dicat seragam: putih abu-abu. Berbagai upaya dilakukan agar pemilik gedung mau menghidupkan kembali asetnya. Namun, pemkot tak pernah berhasil. Sampai akhirnya pandemi datang.

WAJAH Tunjungan berubah drastis dibanding dua tahun lalu, sebelum pandemi. Warna gedungnya tidak lagi monoton putih polos. Warna-warni mural menghiasi berbagai sudut kawasan strategis Surabaya itu.

Gedung-gedung usang yang dulunya tak pernah dilirik kini sudah bermetamorfosis. Investor cafe dan restoran berlomba-lomba berebut tempat di Tunjungan. Mereka menghias gedung itu dengan sentuhan modern. Tunjungan yang bernuansa Eropa klasik kini lebih hidup.

Wajah jalan sepanjang 863 meter itu juga lebih indah ketika malam hari. Hiasan lampu LED melintang menghubungkan gedung-gedung yang saling berseberangan. 

“Salah satu cafe pertama yang lahir saat pandemi ya Piring Seng ini,” ujar pemilik Piring Seng Coffee and Co Fahad Umar, kemarin, 30 Mei 2022. 

Pagi itu, cafenya belum buka. Operasional dimulai pukul 13.00. Ramainya sore hingga malam hari.

Cafe miliknya berada di seberang Hotel Majapahit. Tepat di tengah-tengah Jalan Tunjungan. Inilah kawasan yang berkembang paling awal saat pandemi.

Fahad memang berencana membuka cafe sejak 2019. Modal nekat. Sebab, Jalan Tunjungan seperti mati suri setelah direvitalisasi. Banyak pertokoan tutup karena akses parkir sulit dan sewa mahal.

Harga sewa Ruko di Tunjungan bisa mencapai Rp 250 juta. Inilah yang membuat Jalan Tunjungan sulit berkembang. Tak ada yang berani memulai membuka usaha di sana.

Fahad termasuk salah satu investor berani itu. Saat proses pembangunan masih berlangsung, ndilalah pandemi datang. 

Dari sudut pandang ekonomi, investasinya pasti suram. Ekonomi makro dan mikro hancur karena Pembatasan Kegiatan Sosial Berskala Besar (PSBB). Restoran, cafe hingga warung kopi ikut terkena dampaknya. Pemiliknya tidak boleh menerima pengunjung. Makanan dan minuman harus dibungkus. 

Namun Piring Seng sudah telanjur dikerjakan. Sudah habis ratusan juta. Fahad jalan terus hingga Piring Seng mulai buka di awal pandemi. 

Rupanya gedung-gedung sebelah mulai ikutan dipugar. Ada investor datang. Mereka melirik bisnis kuliner yang katanya tidak akan pernah mati. Sebesar apa pun krisisnya orang tetap butuh makan dan minum.

Fahad semakin semangat. Ia tak menganggap mereka sebagai pesaing, namun sesama pejuang ekonomi. Bahkan Heri Darmanto, yang mendirikan Street Boba di dekat Piring Seng, kini jadi salah satu sahabatnya. 

Beberapa bulan kemudian cafe lain mulai tumbuh. Kawasan tengah Tunjungan mulai hidup. Setahun kemudian ekonomi Tunjungan makin berkembang. Sampai menjalar ke sisi utara dan selatan. “Sampai sekarang sudah ada 15 cafe yang dibangun. Itu cuma cafe, belum yang lain-lain,” kata pria yang juga tinggal di Jalan Tunjungan itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: